Secara sederhana bisa dikatakan defisit neraca transaksi berjalan menunjukkan ketidakmampuan kita membiayai operasional (pertumbuhan) ekonomi domestik dari sumber daya dalam negeri. Untuk itu perlu ditutup dengan pembiayaan asing lewat surplus neraca modal dan finansial. Dengan demikian, jika neraca modal dan finansial tak lagi mampu menutup defisit NPI, artinya modal asing pun tak juga mau ”menolong” perekonomian kita untuk tumbuh sesuai harapan kita.
Tentu saja, pertumbuhan ekonomi idealnya lebih banyak bertumpu pada sumber daya domestik. Itulah esensi dari kemandirian ekonomi. Karena itu, isu produktivitas dan penekanan pada pengembangan sumber daya manusia menjadi penting. Namun, kebijakan sehebat apa pun baru akan terasa dampaknya pada dua sektor ini setelah beberapa tahun bahkan dekade. Maka dari itu, jelas tak bisa ditagih sebagai ukuran kinerja jangka pendek.
Meskipun demikian, ada berbagai faktor pendukung yang berfungsi memandu kita menilai apakah target peningkatan produktivitas dan peningkatan SDM sudah berada di jalur yang benar. Pembenahan birokrasi, izin investasi, akselerasi pembangunan infrastruktur, pengaturan tata ruang, hingga kebijakan pajak bisa menjadi leading indicator sehingga peningkatan produktivitas bisa diukur keberhasilannya.
Pemerintah baru nanti mewarisi situasi tak terlalu baik dalam hal produktivitas. Kita terlalu lamban membangun infrastruktur, energi, dan reformasi birokrasi. Akibatnya, untuk membiayai pertumbuhan 5,3 persen tahun ini, kita harus mengandalkan sumber daya asing cukup besar, ditunjukkan dengan defisit transaksi berjalan yang masih berada pada kisaran 3 persen tahun ini. Pada kuartal II tahun ini, defisit neraca transaksi berjalan diperkirakan masih 9 miliar dollar AS atau setara dengan 4 persen produk domestik bruto (PDB). Tahun lalu pada periode yang sama defisit mencapai 9,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen PDB. Kita masih ingat, akibat besarnya defisit itu, investor berbalik arah sehingga kita dikategorikan dalam lima kelompok negara paling rapuh (the Fragile Five) oleh Morgan Stanley, bersama Brasil, Turki, India, dan Rusia.
Sejarah selalu berulang dalam siklus dengan pola yang lebih kurang sama. Kelemahan kita tak banyak belajar dari pengalaman sehingga cenderung melakukan kesalahan (kebijakan) yang sama. Pemerintah baru diharapkan mampu keluar dari twin deficits (defisit neraca pembayaran dan defisit fiskal) agar kita tak ditinggalkan para pemodal yang juga kita butuhkan memupuk kinerja perekonomian sambil memperbaiki produktivitas yang begitu rapuh ini. Selamat bekerja presiden dan wakil presiden baru, terutama tim ekonominya. Semoga momentum yang baik ini melahirkan tim ekonomi yang baik dan kebijakan-kebijakan yang baik pula.
A Prasetyantoko
Dosen di Unika Atma Jaya, Jakarta