Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga BBM Naik, Inikah Warisan SBY?

Kompas.com - 21/08/2014, 11:40 WIB

KOMPAS.com - Tepat pada 20 Oktober, satu dekade sudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakhiri masa pemerintahan. Kabinet Indonesia bersatu jilid I dan II tutup buku.

SBY pun secara resmi berpamitan tepat saat sidang paripurna DPR RI pada 15 Agustus lalu. Di pidatonya kenegaraannya yang ke-10, SBY mengaku perasaannya sama saat sewaktu pertama kali berdiri tahun 2005 silam. "Penuh semangat dan tekad untuk berbuat yang terbaik dan memberikan segalanya kepada bangsa dan negara," kata Presiden SBY.

Tak lupa, secara terbuka permintaan maaf kepada rakyat Indonesia atas berbagai kekurangan selama memimpin negeri. "Dari lubuk hati yang terdalam, saya meminta maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan itu. Meskipun saya ingin selalu berbuat yang terbaik, tetaplah saya manusia biasa," ujarnya.

Selama dua masa periode pemerintahannya, torehan prestasi pun sudah banyak tercapai. Di samping seputaran peluncuran album lagu. Wajar saja, presiden kelahiran Pacitan ini gemar bernyanyi dan bermusik.

Tak kurang, SBY sudah meluncurkan lima album. Kembali, Untuk Bumi Kita, dan Kuyakin Sampai Di sini merupakan sederetan lagu ciptaan SBY yang sering diperdendangkan dalam berbagai kesempatan acara kenegaraan atau kepresidenan.

Bahkan, bisa jadi sudah menjadi tradisi lagu-lagu tersebut mengiringi kemeriahan peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus di Istana Negara. Seperti judul lagu Untuk Bumi Kita yang dibawakan beberapa waktu lalu.

Ya, itu bisa jadi warisan SBY. Lalu apa saja capaian kepemimpinan selama ini?. SBY mengklaim beberapa prestasi selama periode tahun 2005-2013.

Dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015 disebutkan delapan keberhasilan itu adalah:

Pertama, pada pertumbuhan ekonomi mencapai rata rata 5,8 persen per tahun. Kedua, dengan rata rata pertumbuhan pertahun sebesar 5,8 persen maka menimbulkan konsekuensi positif bagi perkembangan pendapatan per kapita masyarakat. Pendapatan perkapita Indonesia meningkat dari Rp 11,0 juta per tahun pada tahun 2005 menjadi Rp 36,5 juta per tahun pada 2013.

Ketiga, tingkat kemiskinan menurun dari 15,97 persen menjadi 11,46 persen, dan keempat, tingkat pengangguran menurun dari 11,24 persen menjadi 6,17 persen. Perkembangan tersebut dicapai sejalan dengan ditempuhnya berbagai kebijakan dan perkembangan di bidang pengelolaan APBN.

Kelima, pada periode 2005-2013, seiring dengan ditempuhnya berbagai kebijakan di bidang perpajakan, pendapatan negara mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 14,3% dari Rp 495,2 triliun pada 2005 menjadi Rp 1.438,9 triliun pada 2013.

Keenam, besaran belanja negara mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 15,8% dari Rp 509,6 triliun pada 2005 menjadi Rp 1.650,6 triliun pada 2013.

Ketujuh, pemerintahan SBY juga berhasil menjaga defisit APBN di bawah 2,0 persen dari tahun ke tahun.

Delapan, dengan defisit yang rendah maka rasio utang pemerintah terhadap PDB mengalami penurunan secara signifikan dalam periode tersebut, yaitu dari 47,3 persen menjadi 26,2 persen.

Memang sudah sepantasnya, ucapan terima kasih atas jasa SBY atas capaian tersebut. Tapi tunggu dulu, rupanya SBY mewariskan beban untuk pemerintahan mendatang. Bisa jadi beban ini semacam bom yang bakal meledak.

Tengok saja dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014 yang disahkan Juni lalu. Pengesahan anggaran negara ini juga menjadi warisan amat menantang sekaligus menyandera pemerintahan baru hasil pemilihan presiden 9 Juli nanti. Warisan beban terberat itu apalagi kalau bukan seputar anggaran subsidi energi.

Maklum, pemerintahan SBY tak kunjung menuntaskan akar persoalan pembengkakan anggaran subsidi energi hingga akhir masa jabatannya. Akibatnya, anggaran subsidi energi tahun ini naik drastis dari Rp 282,1 triliun menjadi Rp 350,31 triliun.

Dari jumlah itu, Rp 50 triliun dimasukkan dalam anggaran tahun 2015 (carry over). Ibaratnya, pemerintah sekarang mengijonkan dana subsidi. Pemerintahan SBY beralasan, beban fiskal tahun ini sudah teramat berat, sehingga harus mencuil lebih dulu jatah APBN 2015

Celakanya, berbarengan dengan lonjakan anggaran subsidi, sumber pemasukan dari setoran pajak kian seret. APBNP 2014 menetapkan setoran perpajakan sekitar Rp 1.246,1 triliun, turun dari target APBN 2014 yang mematok Rp 1.280,3 triliun.

Alhasil, gara-gara besar pasak daripada tiang, pemotongan anggaran belanja hingga Rp 43 triliun pun jadi jalan pintas. Untuk menutup jurang defisit yang makin menganga, utang bakal digenjot. Perburuan utang baru bakal digenjot sekitar Rp 66 triliun, dari sebelumnya Rp 175,5 triliun menjadi Rp 241,49 triliun.

Masalah subsidi BBM seakan menyandera pemerintahan mendatang. Cerminan pemerintahan SBY yang tak tegas pun masih saja belum pudar di akhir masa kepemimpinannya. Lagi-lagi SBY tak berani mengambil sikap tegas mengurai dan memangkas beban subsidi BBM, alhasil anggaran negara tahun depan nyaris melompong terkuras subsidi.

Gambaran itu sekali lagi tampak dalam nota keuangan dan RAPBN 2015. SBY mematok postur RAPBN 2015 sebagai berikut: pendapatan Negara direncanakan Rp 1.762,29 triliun, naik 7,8 persen dari APBN Perubahan (APBN-P) 2014. Sedangkan belanja direncanakan Rp 2.019,86 triliun, naik 7,6 persen dari APBN-P 2014. Alhasil, defisit anggaran dalam RAPBN 2015 menjadi Rp 257,57 triliun atau 2,32 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Besarnya defisit anggaran dalam RAPBN 2015 dipicu kenaikan alokasi untuk subsidi energi. Maklum, selain membayar subsidi 2015, RAPBN 2015 juga harus membayar subsidi bahan bakar minyak (BBM) tahun 2014 sebesar Rp 44 triliun.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menuturkan, target defisit anggaran 2015 di atas 2 persen dari PDB tergolong tinggi. Padahal, kata David, tahun depan masih banyak risiko global yang harus dihadapi Indonesia.

Sejumlah risiko itu antara lain rencana Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang akan menaikkan suku bunga sehingga ekonomi Indonesia berisiko menghadapi keluarnya arus modal. Sementara di domestik, kata David, pada 2015 pemerintahan baru juga harus menghadapi besarnya defisit transaksi berjalan atau current account deficit. "Ini yang membuat beban pemerintah baru semakin besar," katanya.

Tingginya defisit neraca transaksi berjalan juga banyak disokong besarnya impor BBM. Salah satu solusi menekan defisit adalah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Pilihan panas itulah yang harus dihadapi pemerintah baru. Padahal, pemerintah baru nanti baru membangun legitimasi dan dukungan rakyat. Celakanya, kenaikan harga BBM bisa menggerus kepercayaan rakyat tersebut.

Bisa berubah

Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan, asumsi pertumbuhan ekonomi tahun depan dipatok 5,6 persen, naik tipis dari target pertumbuhan tahun ini sebesar 5,5 persen. Alasannya, situasi global tahun depan belum sepenuhnya membaik.

Namun, semua plafon anggaran dan asumsi RAPBN 2015 yang disusun pemerintah SBY bisa berubah bila pemerintahan baru menghendaki. "Program baru akan dibuat pemerintahan baru,” tandas Chatib.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Chairul Tanjung mengusulkan, perubahan postur anggaran melalui APBN Perubahan di awal tahun 2015. Chairul menilai, kenaikan anggaran belanja di 2015 masih wajar, karena sembilan tahun terakhir, anggaran belanja naik sekitar 13 persen per tahun.

Memang, pemerintah baru berhak menyusun lagi postur anggarannya. Namun, tentu lebih elok jika pemerintah SBY ikut berbagi beban, tidak sekadar mewarisi beban berat tanggungan subsidi.

Pil pahit

Postur anggaran semacam ini membuat ruang gerak pemerintahan mendatang cukup sempit. Lebih-lebih untuk mewujudkan janji-janji masa-masa kampanye pemilu lalu.

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) pun sepertinya sadar diri. Mau tidak mau harus menanggung sendiri kenaikkan harga BBM bersubsidi.

Tegas, Jokowi mengisyaratkan bakal mengambil kebijakan yang tidak populis itu. ""Saya sedang pelajari RAPBN 2015, karena subsidinya terlalu besar," ujar Jokowi.

Ekonom Bank Central Asia David Sumual bilang kenaikan harga BBM harus secepatnya dilakukan. Jika tahun 2014 tidak bisa dilakukan, maka pada bulan Januari atau Februari harus bisa dilakukan.

Sebenarnya, pasar sendiri sudah menanti sikap tegas pemerintahan atas kebijakan BBM subsidi ini. Pendiri dan CEO Quvat Capital Tom Lembong menuturkan pasar tidak akan keberatan atas kebijakan kenaikkan BBM subsidi.

"Market sudah akan puas kalau harga BBM di-naikkan secara bertahap sehingga mencapai harga ekonomis dalam 3-4 tahun. Kredibilitas Pak Jokowi dan Pak JK di mata investor sudah cukup kuat, sehingga mereka tidak perlu mengambil tindakan drastis untuk membuktikan diri soal kebijakan ekonomi," jelasnya.

Tom justru lebih menekankan sikap tegas dan jelas atas kebijakan harga BBM. Menurutnya, kenaikkan harga BBM sudah tidak bisa ditunda kembali. "Justru kalau sekarang tidak naik, itu menjadi sentimen negatif dan selamanya membebani APBN," jekasnya.

Dirinya tidak menampik jika dampak dari kebijakan kenaikkan BBM bakal berimbas pada pelaku industri. Tapi, kemungkinan besar dampak tersebut tidak akan berlarut-larut. "Seperti kelihatan dari pengalaman beberapa kali kenaikan harga BBM dalam beberapa tahun terakhir, industri maupun masyarakat akan bisa menyesuaikan diri.

Jadi, siap-siap lah menerima kenyataan masyarakat menghadapi kenaikan harga BBM. Bagaimana pun kebijakannya, alokasi subsidi yang tepat sasaran yang dinanti. (Uji Agung Santosa, Yudho Winarto, Asep Munazat Zatnika, Margareta Engge Kharismawati, Widyasari Ginting)
baca juga: Mulai 2015, Harga BBM Bersubsidi Akan Naik Rp 1.500

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Perputaran Uang Judi Online di RI sampai Rp 327 Triliun Setahun

Perputaran Uang Judi Online di RI sampai Rp 327 Triliun Setahun

Whats New
Bapanas Pastikan Konflik Israel-Iran Tak Pengaruhi Masuknya Komoditas Pangan yang Rutin Diimpor

Bapanas Pastikan Konflik Israel-Iran Tak Pengaruhi Masuknya Komoditas Pangan yang Rutin Diimpor

Whats New
Pasca Akuisisi BPR, KoinWorks Fokus Inovasi dan Efisiensi Tahun Ini

Pasca Akuisisi BPR, KoinWorks Fokus Inovasi dan Efisiensi Tahun Ini

Whats New
Lion Air Bantah 2 Pegawai yang Ditangkap Menyelundupkan Narkoba Merupakan Pegawainya

Lion Air Bantah 2 Pegawai yang Ditangkap Menyelundupkan Narkoba Merupakan Pegawainya

Whats New
Indofarma Akui Belum Bayar Gaji Karyawan Periode Maret 2024, Mengapa?

Indofarma Akui Belum Bayar Gaji Karyawan Periode Maret 2024, Mengapa?

Whats New
Pesetujuan KPR BSI Kini Hanya Butuh Waktu Satu Hari

Pesetujuan KPR BSI Kini Hanya Butuh Waktu Satu Hari

Spend Smart
Bank Sentral Inggris Diprediksi Pangkas Suku Bunga pada Mei 2024

Bank Sentral Inggris Diprediksi Pangkas Suku Bunga pada Mei 2024

Whats New
Cara Membuat Kartu ATM BCA Berfitur Contactless

Cara Membuat Kartu ATM BCA Berfitur Contactless

Work Smart
Pertanyaan Umum tapi Menjebak dalam Wawancara Kerja, Apa Itu dan Bagaimana Cara Jawabnya?

Pertanyaan Umum tapi Menjebak dalam Wawancara Kerja, Apa Itu dan Bagaimana Cara Jawabnya?

Work Smart
Menko Airlangga soal Kondisi Geopolitik Global: Belum Ada Apa-apa, Kita Tenang Saja...

Menko Airlangga soal Kondisi Geopolitik Global: Belum Ada Apa-apa, Kita Tenang Saja...

Whats New
Pasar Perdana adalah Apa? Ini Pengertian dan Alur Transaksinya

Pasar Perdana adalah Apa? Ini Pengertian dan Alur Transaksinya

Work Smart
Apa Dampak Konflik Iran-Israel ke Industri Penerbangan Indonesia?

Apa Dampak Konflik Iran-Israel ke Industri Penerbangan Indonesia?

Whats New
HUT Ke-35 BRI Insurance, Berharap Jadi Manfaat bagi Masyarakat

HUT Ke-35 BRI Insurance, Berharap Jadi Manfaat bagi Masyarakat

Rilis
Menperin Siapkan Insentif untuk Amankan Industri dari Dampak Konflik Timur Tengah

Menperin Siapkan Insentif untuk Amankan Industri dari Dampak Konflik Timur Tengah

Whats New
Respons Bapanas soal Program Bantuan Pangan Disebut di Sidang Sengketa Pilpres

Respons Bapanas soal Program Bantuan Pangan Disebut di Sidang Sengketa Pilpres

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com