KOMPAS.com -
Produksi minyak nasional pada Juli 2014 tinggal 788.000 barrel per hari, hanya separuh dari tingkat produksi 34 tahun lalu (1980). Sebaliknya, konsumsi minyak naik dua kali lipat hanya dalam waktu 20 tahun, dari sekitar 807.000 barrel per hari tahun 1994 menjadi sekitar 1.650.000 barrel per hari tahun 2014.

Tak pelak lagi, kesenjangan antara konsumsi minyak dan produksi minyak kian menganga. Dalam 12 tahun terakhir saja, selisih antara konsumsi dan produksi minyak naik berlipat ganda, dari hanya 46.000 barrel per hari menjadi sekitar 750.000 barrel per hari, atau lebih dari 16 kali lipat.

Devisa yang terkuras untuk impor minyak tahun 2013 mencapai 42,2 miliar dollar AS, sedangkan ekspor minyak hanya 14,5 miliar dollar AS sehingga defisit minyak tahun 2013 mencapai 27,7 miliar dollar AS. Selama semester pertama tahun ini, defisit minyak sudah mencapai 13,7 miliar dollar AS.

Defisit minyak pertama kali terjadi pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004. Kala itu defisitnya masih 3,8 miliar dollar AS. Berarti, selama dua periode pemerintahan Yudhoyono, defisit minyak meroket lebih dari tujuh kali lipat.

Mekanisme paling ampuh untuk menemukan keseimbangan baru yang berkelanjutan agar kita berdaulat di bidang energi dan terhindar dari krisis minyak adalah penyesuaian harga. Tanpa penyesuaian harga, pemerintah tidak bakal mampu mengelola kebijakan energi nasional karena terlalu banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah untuk menjaga harmoni permintaan dan penawaran minyak.

Kalau pemerintah bersikukuh mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada level sekarang, subsidi BBM bakal terus menggelembung. Kuota BBM bersubsidi harus senantiasa dinaikkan, impor minyak kian menggila, serta defisit perdagangan barang (trade account) dan defisit akun lancar (current account) bakal terus menghantui sehingga menekan nilai rupiah.

Selama empat tahun terakhir, harga minyak ekspor Indonesia selalu di atas 100 dollar AS per barrel. Gejolak di kawasan kaya minyak tampaknya akan berkepanjangan sehingga harga minyak tetap tinggi. Penjualan mobil dalam enam tahun ini naik 3,5 kali lipat dan penjualan sepeda motor naik 1,65 kali lipat. Sementara itu, nilai tukar rupiah selama tiga tahun terakhir merosot 27,8 persen dari tingkat terkuatnya pada 2 Agustus 2011.

Antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di sejumlah daerah merupakan konsekuensi logis dari inkonsistensi pemerintah mengelola BBM. Mempertahankan kuota BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter tahun ini yang sama dengan tahun lalu merupakan kemustahilan. Menghadapi gelagat kuota BBM bersubsidi bakal terlampaui, pemerintah lewat Pertamina membatasi pasokan. Dengan menggunakan mekanisme nonharga ini, niscaya terjadi kelebihan permintaan (excess demand) sehingga menimbulkan kelangkaan (shortage). Mahasiswa fakultas ekonomi semester pertama pun sangat paham soal itu.

Ketimbang berkutat dengan segala jurus nonharga mengendalikan permintaan BBM bersubsidi, alangkah arif jika pemerintah menohok ke akar masalah agar kanker BBM tidak menjalar ke tubuh perekonomian.

Setahun setelah kenaikan harga BBM memang bakal menekan perekonomian, membebani hampir seluruh segmen masyarakat, terutama penduduk miskin dan nyaris miskin (near poor). Adalah tugas utama pemerintah melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan gejolak. Namun, kita pun ingin tidak hidup di bawah bayang-bayang mitos.

Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2014 berjumlah 28,28 juta, hampir dua pertiga tinggal di pedesaan. Harga beraslah yang paling sensitif bagi orang miskin dan nyaris miskin di pedesaan karena belanja untuk beras menghabiskan sepertiga dari belanja total mereka.

Selama lima tahun terakhir, harga beras naik 75,8 persen dari Rp 6.441 per kilogram (kg) pada November 2008 menjadi Rp 11.321 per kg pada Juli 2014. Cukup banyak keluarga tani yang menjadi pembeli neto, artinya produksi beras lebih kecil ketimbang konsumsi beras mereka. Selain itu, kenaikan harga eceran beras juga tidak proporsional dengan harga yang petani peroleh. Pada periode yang sama, harga padi dengan kadar air di bawah 14 persen di tingkat petani hanya naik 58 persen, dari Rp 2.909,18 per kg pada November 2008 menjadi Rp 4.597,59 per kg pada Juli 2014.

Sementara itu, selama November 2008 hingga Juli 2014, harga bensin bersubsidi hanya naik 8,3 persen, dari Rp 6.000 per liter menjadi Rp 6.500 per liter. Orang miskin di pedesaan hanya mengeluarkan 2,46 persen dari pengeluaran totalnya untuk bensin. Pengeluaran terbesar kedua yang menentukan garis kemiskinan di pedesaan adalah untuk rokok kretek filter, yaitu 8,64 persen.

Jadi, cara paling ampuh menurunkan angka kemiskinan bukanlah dengan mempertahankan harga BBM bersubsidi yang nyata-nyata menambah kenikmatan kelas menengah ke atas, melainkan dengan menjaga kestabilan harga beras di tingkat eceran seraya mendorong pendapatan petani dengan mereformasi mata rantai setelah panen. Selain itu, juga dengan menaikkan cukai rokok agar petani kian menjauh dari barang yang merusak kesehatan dan kantong petani.

Dampak inflatoar dari kenaikan harga BBM bisa ditekan dengan memilih momentum kenaikan yang tepat. Dari perilaku inflasi bulanan pada 10 tahun terakhir, waktu paling pas menaikkan harga BBM adalah bulan September. Semoga Presiden Yudhoyono berbesar hati melakukannya, mengakhiri pemerintahannya dengan tinta emas, paling tidak kenaikan Rp 1.500, sehingga bisa menghemat anggaran tahunan Rp 69 triliun. Lalu, pemerintah baru nanti menaikkan lagi sebesar Rp 1.500 pada Februari atau selambat-lambatnya April 2015.

Dana tambahan di APBN sebesar Rp 138 triliun dialokasikan untuk membangun sektor pertanian guna melumatkan kemiskinan di desa. Selain itu, sebagian dana juga untuk membenahi angkutan umum dan membangun perumahan terjangkau di kota besar guna membasmi kemiskinan di perkotaan.

Dengan begitu, mulai tahun 2016 kita bisa keluar dari perangkap dan mitos BBM, lalu melaju dengan kecepatan penuh.

Faisal Basri Ekonom