Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, A Tony Prasetiantono menuturkan, kondisi serupa juga terjadi di negara-negara lain yang masih memberikan subsidi BBM kepada rakyatnya.
“Jadi memang salah sasaran tidak hanya di Indonesia. Tapi di seluruh negara yang memberikan subsidi, Mesir, Iran, Irak, Kuwait, Qatar, UES, Arab Saudi, itu semua salah sasaran,” kata dia ditemui usai East Asia Policy Dialogue: Indonesia in Trade Agreements, di Jakarta, Jumat (12/9/2014).
Tony memaparkan, studi International Monetary Fund (IMF) mencatat sebanyak 61 persen subsidi BBM di negara-negara yang menerapkan subsidi, jatuh kepada 20 persen orang terkaya di negara tersebut. Sementara itu, sebanyak 19 persen subsidi BBM jatuh pada kelompok kelas menengah.
“Jadi, kalau dijumlah, kelompok menengah dan atas itu menikmati 80 persen subsidi BBM,” ujar dia.
Tony lebih lanjut menjelaskan, hal tersebut terjadi lantaran kelas menengah dan atas lebih banyak mengkonsumsi BBM. “Mereka punya mobil besar, tangkinya 50 liter. Sementara rakyat miskin itu dapatnya Cuma 3 persen, karena (tangki) motornya kecil, dua-tiga liter sudah penuh,” imbuh Tony.
Padahal, diakui Tony, subsidi BBM ini membuat pelaku pasar tidak memiliki sentimen positif terhadap fiskal Indonesia.
Terkait dengan rencana Gubernur The Federal Reserve untuk mengerek suku bunga atau Fed Rate, Tony menegaskan pemerintah perlu melakukan perbaikan fiskal. Lebih Pemerintahan mendatang diharapkan tidak mengalokasikan anggaran terlalu besar untuk subsidi BBM, seperti saat ini. Selain tidak sehat bagi APBN, subsidi BBM yang terlalu besar membuat pelaku ekonomi tidak “confidence” terhadap Indonesia.
“Jadi, paradigmanya bukan ‘Memberi subsidi banyak supaya rakyatnya senang’. Yang benar adalah bagaimana kita memperbaiki struktur kita. Karena struktur kita itu akan dinilai oleh para pelaku ekonomi, pelaku ekonomi domestik dan global itu akan melihat itu. Kalau APBN-nya tidak reliable, apalagi salah sasaran, pelaku pasar tidak percaya,” lanjut Tony.
Dia mengusulkan, ada pengurangan subsidi BBM secara gradual. Pada tahap awal pemerintahan Jokowi, harga BBM bersubsidi bisa dinaikkan Rp 2.000 per liter. “Alasannya, kalau naikkan Rp 5.00, Rp 1.000, dengan menaikkan Rp 2.000, orang marahnya sama saja. Paling puncak, harapan saya, orang naik mobil itu tidak dapat subsidi. Naik motor boleh (dapat),” tukas Tony.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.