Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Harus Lebih Banyak Menebar "Gula-gula"

Kompas.com - 22/09/2014, 08:01 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve menaikkan suku bunganya dari posisi saat ini 0,25 persen akan sangat mempengaruhi Indonesia yang masih sangat bergantung dengan modal asing.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Denni Puspa Purbasari, mengatakan, begitu suku bunga dinaikkan, modal dari emerging market termasuk Indonesia akan kembali ke negeri Paman Sam.

"Orang lain makin cantik, tentu orang akan makin melek. Sudah gadis cantik, berdandan pula, modal akan cerai dengan Indonesia," kata Denni dalam sebuah diskusi akhir pekan ini.

Lalu, bagaimana agar Indonesia tak jadi diceraikan? Sayangnya, Denni pesimistis hal itu sangat sulit. Krisis utang di Argentina menjadi cerminan buruk emerging market.

"Persepsi investor, Argentina ini penyakitnya akan menular ke mana? Karena dunia ini makin global. Apa kita juga dianggap sakit?" kata dia.

Bisa jadi, kata Denni. Indikasinya, penerimaan ekspor Indonesia turun dipicu harga komoditas. Di sisi lain ekonomi domestik nyata-nyata melambat, buntut investasi yang melambat.

Menurut Denni, Indonesia sebagai salah satu negara penjual surat utang, harus lebih banyak menabur gula-gula. "Capital masuk itu karena gula-gula. Tapi konsekuensinya, kalau bunga makin mahal, itu beban untuk kita atau generasi nanti," lanjut Denni.

Dengan bunga surat utang negara yang makin tinggi, artinya pembiayaan defisit akan makin mahal. "Indonesia terpaksa membayar bunga lebih tinggi karena pasar meminta itu," kata Denni.

Solusi bukan di BI
Kondisi Indonesia saat ini diibaratkannya bagai duduk di atas magma. Utang jangka pendek mencapai 53 miliar dollar AS, belum lagi SUN.

"Investor sedang menanti, ini Indonesia mau reform tidak? Kita kan enggak ngerti kapan mood investor turun. Pertanyaannya, kita mau didahului atau mendahului pasar? Harusnya, kita yang mengalahkan persepsi pasar," tegas Denni.

Solusinya, lanjut Denni, bukanlah di kebijakan Bank Indonesia (BI), namun pemerintah. Meski menurutnya, ada baiknya BI rate naik karena akan mengundang capital inflow.

"Kenapa bukan di BI? Impor minyak dilawan dengan ekspor. Kelapa sawit enggak ada bandingannya dengan BBM yang ngocor tiap hari," kata dia.

Lebih lanjut dia menilai, ada baiknya juga BI membiarkan rupiah melemah secara perlahan. Menurutnya, tujuan BI ini baik. Dalam pandangannya, BI sedang "mencubit" pemerintah agar sadar bahwa dollar AS tidaklah murah.

"Impor mahal. Jadi biar mereka (pemerintah) terbebani dan segera melakukan koreksi," sambung Denni.

Namun, diakuinya pelemahan rupiah ini akan memperburuk persepsi resiko. Apalagi bagi perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dollar AS, resiko akan makin berat.

"BI ini jadinya simalakama. Padahal penyakitnya bukan BI, tapi fiskal di pemerintah," ujar Deni.

First best solution, kata dia, adalah dengan menghapus subsidi BBM. Tetapi, karena dalam Undang-undang juga diatur bahwa masyarakat miskin harus mendapatkan subsidi, maka menurutnya, pemerintah bisa melakukan sistem targeted subsidi. Misalnya, memberikan kupon bensin kepada pengendara sepeda motor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com