Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Masa Ketika Beli Mobil Harus Bawa Uang Sekardus

Kompas.com - 22/09/2014, 11:35 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis


KOMPAS.com
 — Pernahkah Anda membayangkan hidup tanpa lembaga keuangan seperti bank? Seandainya tidak ada bank, di mana Anda menyimpan uang Anda? Terbayangkah di benak Anda bagaimana jika kita harus melakukan transaksi-transaksi dalam jumlah besar?

Saat ini, rasanya sulit membayangkan, misalnya, kita membeli mobil atau motor, apalagi rumah, yang harganya berjuta-juta tanpa melalui mekanisme transaksi antarbank atau lembaga keuangan. Tanpa bank dan transaksi elektronik yang berlangsung ringkas dan cepat, kita membutuhkan kantong plastik atau kardus untuk membawa uang-uang pembayaran dalam bentuk tunai.

Sekitar tahun 1980, saya ingat bapak saya masih menerima gaji dalam bentuk amplop. Ibu saya menyisihkan uang gaji itu untuk disimpan di tempat tersembunyi di dalam rumah. Setiap kali hendak membeli sesuatu dalam jumlah besar, orangtua saya membawa amplop-amplop besar yang dimasukkan dalam kantong plastik. Sungguh merepotkan.

Situasi sekarang tentu sudah jauh berbeda. Pada zaman yang serba digital ini, kita dimudahkan untuk bertransaksi. Teknologi perbankan yang sudah terhubung antarpejuru dunia memungkinkan kita melakukan transaksi elektronik berapa pun jumlahnya dengan sangat mudah dan cepat.

Ada layanan anjungan tunai mandiri (ATM), mobile banking, internet banking, atau gesek kartu kredit. Bahkan, layanan transaksi berapa pun jumlahnya sepenuhnya ada di genggaman kita. Dengan mobile banking, tinggal pencet tombol keyboard telepon seluler, transaksi pun langsung beres.

Rasanya, belum lama masa transaksi tunai dalam jumlah besar itu terjadi di negeri ini. Generasi-generasi cash only society masih hidup dan bisa bercerita soal itu.

Uang di kardus mi instan

Dwi (61) masih menyimpan kisah masa lalu itu. Ceritanya, sekitar 20 tahun tahu ia ingin membeli sebuah mobil pikap untuk memulai usaha kecil-kecilan. Ia mendapat penawaran menarik dari seorang teman yang ingin menjual mobil pikapnya. Harga pun disepakati. Saat itu transaksi melalui perbankan belum populer. Transaksi harus dilakukan tunai.

"Karena rumah saya dan rumah teman saya itu lumayan jauh, saya harus bawa uang banyak itu untuk bayar mobil. Saya tidak punya tas ukuran besar. Akhirnya saya masukkan uang itu ke dalam kardus mi instan, terus saya masukkan lagi ke kantong plastik besar supaya tidak mencurigakan. Deg-degan juga," kenang Dwi.

Kerepotan itu tentu tak mungkin terjadi pada masa kini. Dwi mengaku, andai masa itu transaksi perbankan sudah populer, ia tentu tak akan memilih repot-repot membawa uang tunai dalam kardus. Pembayaran, kata dia, bisa dilakukan sekejap melalui transfer. Transaksi menjadi lebih cepat, mudah, aman, dan efisien.

Uang dalam kantong plastik

Sementara Aan (68), kakek empat cucu, bercerita, ia pernah membeli sebuah sepeda motor yang dibayarnya dengan uang "bergepok-gepok" lantaran kala itu dirinya tidak memiliki rekening perbankan.

"Aduh, saya lupa berapa itu harga sepeda motor. Saking banyaknya uang yang saya bawa, saya bayar sepeda motor pakai uang yang ditaruh di kantong plastik. Tadinya mau bawa pakai kardus mi, tapi kok mencolok gitu ya," kata Aan saat berbincang dengan Kompas.com belum lama ini.

Tahun persis ia membeli sepeda motor tidak dapat diingatnya. Yang jelas, saat itu kira-kira tahun 1980-an. Kala itu, ia dan istrinya belum mengenal bank. Ia dan istrinya menyimpan uang tunai di rumah. Ia baru memiliki rekening di bank pada tahun 1990-an.

"Anak saya yang bilang, 'Bapak kalau simpan uang di rumah enggak aman, mendingan punya tabungan, Pak. Uangnya aman'. Saya nurut saja. Akhirnya saya buka rekening di bank, kebetulan kantornya dekat," kenang Aan.

Ia terkekeh membandingkan masa lalu dan masa kini. "Kan kalau sekarang enak ya, bisa bayar pakai kartu. Jadi saya dulu enggak usah repot-repot bawa-bawa uang pakai kantong plastik, ha-ha-ha," kata dia sambil terbahak.

Bayar tagihan

Hal serupa juga dialami Tuti (70), ibu rumah tangga yang sudah dikaruniai tujuh orang cucu. Ia mengaku sempat mengalami repotnya membawa uang tunai dengan jumlah besar ke bank untuk membayar tagihan. Dengan jantung yang berdebar-debar, ia membawa uang itu ke bank.

"Waktu itu, sih, masih muda. Zaman anak-anak saya masih sekolah. Untuk bayar tagihan apa ya dulu? Lupa saya. Waktu itu saya belum punya rekening bank. Soalnya saya pikir, ah simpan di rumah saja," kenang Tuti.

Seiring berjalannya waktu, saat putra-putrinya beranjak dewasa, mereka menyarankan Tuti untuk membuat rekening bank. Waktu itu alasannya sederhana, agar putra-putri dapat mengirimkan uang kepada sang ibu dengan langsung mengirimkannya ke rekening bank.

"Saya dulu enggak ngerti. Akhirnya anak-anak yang buat (rekening), saya diajak ke bank. Lalu diajari bagaimana menyetor uang, transfer, mengambil uang, pokoknya kebutuhan yang dasar saja. Kata anak-anak, biar mereka gampang kirim uang ke saya," jelas dia.

Kini, Tuti mengaku layanan perbankan yang ada saat ini memudahkannya dalam mengelola transaksi keuangan. Ia menjelaskan, dirinya sudah memiliki kartu debit sehingga dapat mengambil uang melalui ATM.

"Iya, sekarang sudah punya kartu ATM. Lumayan, kalau mau ambil uang untuk belanja, saya tinggal ke ATM. Tapi jarang, soalnya lama-lama jalan kaki sedikit sudah capek," ujarnya sambil tertawa.

Antre di bank

Sementara itu, cerita Widya (58), seorang pensiunan perusahaan swasta, berbeda lagi. Pada masa lalu, sekitar kurun 1980-an, saat teknologi belum secanggih sekarang, ia harus pergi ke bank dan mengantre di sana untuk mentransfer uang. Prosesnya lama: menulis di formulir untuk transfer, antre di teller, baru bisa transfer.

"Dulu saya sudah (sering melakukan) transfer, tapi ya tidak pakai kartu debit. Kalau transfer ya pakai pemindahbukuan, kita ke bank lalu menulis di slip," kata Widya.

Bagi Widya, perkembangan teknologi digital dalam dunia perbankan dewasa ini jauh lebih menguntungkan. Transaksi dapat berlangsung cepat dan aman.

Layanan transaksi elektronik juga membantu masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi. Masyarakat kini tidak perlu lagi datang ke kantor bank untuk segala keperluan perbankan.

***

Sepenggal cerita di atas memberikan gambaran, kala teknologi belum menyatukan dunia seperti saat ini, berbagai “kerepotan” harus dialami bila ingin melakukan transaksi dalam jumlah besar. Masa itu belum lama berlalu. Pada zaman digital ini, semua “kerepotan” tersebut berubah menjadi “kemudahan”. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com