Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menaikkan Harga BBM Bersubsidi, Jokowi Tak Perlu Izin DPR?

Kompas.com - 29/09/2014, 09:08 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah baru benar-benar diberikan fleksibilitas oleh parlemen. Selain volume bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang tidak dikunci di 47 juta kiloliter, pemerintah baru juga tidak harus menghadap parlemen terlebih dahulu sebelum memutuskan kenaikan harga.

"Tidak (perlu izin DPR). Tapi, dampak dari kenaikan harga itu kan ada perubahan postur. Nah, dia (pemerintah) harus kembali ke kita," ungkap anggota Komisi VII DPR RI, Satya Wira Yudha, di Jakarta, Minggu (28/9/2014).

Lebih lanjut, politisi Partai Golkar itu menuturkan, perubahan harga yang dilakukan dalam kondisi asumsi makro sama, yakni harga Indoensia Crude Price (ICP) 105 dollar AS per barel, dan kurs Rp 11.900 per dollar AS, menjadi hak pemerintah sepenuhnya.

Namun, perubahan harga yang disebabkan adanya perubahan asumsi makro, ICP dan kurs, harus dengan kesepakatan DPR. Bisa juga, sambung dia, BBM bersubsidi dinaikkan pada saat yang bersamaan dengan naiknya harga ICP. Sehingga, kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan hanya untuk mengerem kenaikan harga minyak.

"Tapi di aturan UU MD3, begitu ICP berubah, ya harus APBNP. Jadi, yang harus diperhatikan pemerintah dalam menaikkan harga BBM bersubsidi, dampak dari kenaikannya itu harus mendapatkan persetujuan kita. Itu bedanya. Kalau dulu mau naik saja, dia harus minta izin kita. Kalau sekarang mereka tidak perlu izin ke kita, tapi dampaknya harus ke kita," kata Satya.

Volume BBM bersubsidi
Dia mengatakan, dalam Panja A pada saat pembahasan asumsi makro dan belanja pusat, dibahas pula mengenai kebijakan-kebijakan apa yang diambil dalam rangka menjaga volume BBM bersubsidi agar tidak berubah. Termasuk di dalamnya diantaranya, konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG), penghematan, pengendalian dan upaya efisiensi lainnya.

"Kalau misal mereka kebijakannya seperti itu, kita lantas tidak mengontrol, berarti kan lepas," katanya.

Atas dasar pertimbangan tersebut, Satya dalam rapat Banggar semalam meminta keputusan di Panja A harus in line (selaras) dengan Tim Perumus Undang-undang APBN 2015. "Bahwa di Panja A kebijakannya jelas. Maka, pengontrolannya harus ada di dalam pasal, di mana volumenya kalau berlebihan harus mendapatkan persetujuan dari Komisi VII DPR RI," tegas dia.

Artinya, dia menambahkan, volume 47 juta kiloliter yang disekapati dalam Panja A tetap menjadi patokan. "Kalau bergerak dari itu, harus mendapatkan persetujuan DPR," sambung Satya.

Satya bilang, penambahan volume BBM bersubsidi akan menyebabkan kenaikan belanja subsidi. Jika kenaikan belanja subsidi tersebut menyebabkan defisit APBN mencapai ambang batas 3 persen, maka perlu dilakukan APBN Perubahan 2015.

"Tapi kalau belanja subsidinya nambah, tapi tidak membuat deifisitnya mencapai 3 persen, dia (pemerintah) ke Komisi VII saja sama kita. Karena Komisi VII berhak untuk melihat, apakah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah tadi dijalankan atau tidak. Karena kalau tidak diawasi Komisi VII, dia naikkan volume tapi tidak menjalankan kebijakan, lha yang menilai siapa?" kata Satya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Chatib Basri dimintai komentar soal volume BBM bersubsidi yang tidak dikunci di angka 47 juta kiloliter, hanya menjawab singkat, "Alhamdulillah (tidak dikunci)," katanya Chatib.


baca juga: Fraksi Demokrat Usulkan Subsidi BBM dengan Pola "Fixed"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com