Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi, di Antara Kekuatan “Social Capital” dan “Financial Capital”

Kompas.com - 27/10/2014, 08:49 WIB
Yoga Sukmana

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Joko “Jokowi” Widodo, sudah sejak empat tahun lalu – saat namanya mencuat menjadi Wali Kota Solo, kemudian memutuskan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta 2012, menjadi semacam fenomena tersendiri dalam kancah politik nasional.

Tak urung, para pengamat pun menyebut dukungan sosial itu sebagai Jokowi Effect. Rupanya, fenomena itu tak habis hanya sampai Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pemilihan Presiden tahun 2014 mengantarkan pria lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Keberhasilan Jokowi tersebut karena memiliki modal sosial (social capital) berupa dukungan rakyat yang besar kepadanya. Selain itu, juga ada satu modal lain yang dimiliki pria asal Solo itu, yaitu modal financial (financial capital) – modal kepercayaan para stakeholder ekonomi, pengusaha, bankir, dan lain-lain (Baca juga: Pengusaha di Lingkar Jokowi-JK).

Modal itulah yang menurut pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy bisa menjadi “senjata” ampuh membangun ekonomi Indonesia kedepan. “Kalau mereka berdua (Jokowi-JK) berhasil (menyinergikan modal sosial dan finansial) maka mereka berhasil membangun Indonesia,” kata dia saat berbincang bersama Kompas.com di Wisma Nusantara, Jakarta, Jumat (24/10/2014).

Dia melanjutkan, “Walaupun belum tentu berbasis Trisakti. Tapi, minimal kalau dia (Jokowi) berhasil membangun kekuatan modal sosial dengan modal finansial, itu luar biasa,” ujar dia.

Namun sayangnya, kata Ichsanudin, Jokowi dan Jusuf Kalla sampai saat ini belum mampu menyinergikan kedua modal besar itu bagi kebaikan bangsa. Saat ini, menurut dia, yang sangat terlihat adalah adanya tarik-menarik antara dua kepentingan itu.

“Jokowi memiliki tarik-menarik antara kekuatan modal finansial dengan kekuatan modal sosial. Jokowi ada dalam dua spektrum itu. Jokowi belum berhasil membangun dua sinergi itu, (begitu) juga Jusuf Kalla,” ucap dia.

Sebenarnya, Revolusi Mental yang dikonsepkan oleh Jokowi bisa jadi jalan utama menuju cita-cita Trisakti. Namun, untuk mencapai konsep Trisakti yang dicetuskan Bung Karno itu, Jokowi harus memiliki menteri-menteri yang mampu mendobrak konsep ekonomi Indonesia yang sejak masa Soeharto dipakai, yaitu ekonomi yang liberal.

Bahkan, menurut dia, sejak dalam proses pemilihan menteri, Jokowi harus menjadikan Trisakti sebagai pijakannya.

Minggu petang (26/10/2014), Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya. Pro dan kontra atas orang-orang yang duduk dalam kementerian pun muncul. Beberapa pengamat mengatakan, masyarakat harus memberikan kesempatan pemerintahan bekerja, sebagian lagi merasa pesimistis akan kabinet tersebut.

Namun, pemilihan seorang menteri tetaplah merupakan hak prerogatif presiden. Apa pun “bumbu-bumbu” dalam pemilihannya, semua rakyat tentu berharap pemerintahan Jokowi tak kelewat asin, pedas, atau bahkan anyep. Bahkan, Jokowi diharapkan mampu menyinergikan modal sosial dan finansial itu dalam susunan kabinetnya.

Baca juga: Menteri-menteri Ini Salah Tempat?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com