Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menteri Puan: Industri Jamu Harus Sasar Anak Muda

Kompas.com - 26/11/2014, 15:12 WIB
Tabita Diela

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo tengah gencar menggiatkan kegiatan industri. Berbagai kementerian terkait pun sudah berancang-ancang memberikan insentif kepada industri padat karya, khususnya industri manufaktur. Namun, bagaimana dengan industri kecil-menengah yang khusus memproduksi jamu?

Secara khusus, "nasib" jamu mengemuka dalam peringatan Hari Jadi ke Enam Jamu Brand Indonesia di Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (26/11/2014).

Bila sehari sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan komitmennya untuk mendukung industri manufaktur, kini giliran Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani yang mengungkapkan dukungannya, pada jamu.

"Saya ini termasuk peminum jamu dari kecil. Saat saya mulai menjadi perempuan kecil yang sudah mulai beranjak dewasa saya selaku dicekokin beras kencur, kunyit asam sama ibu saya," tutur Puan ketika membuka acara.

Seusai pidato, kepada Kompas.com, Puan mengatakan, industri jamu perlu berkembang lebih besar dari saat ini. Apalagi, sebentar lagi Indonesia akan bergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di 2015 mendatang.

Produk jamu asal Indonesia akan berhadapan dengan produk-produk lain negara lain. Untuk itu, tutur Puan, produsen jamu perlu meningkatkan kualitas, daya tarik, serta pemasaran produknya.

"Yang harus dilihat, kembali lagi masalah packaging. Masalah bagaimana kemudian itu dibuat tahan lama. Karena jamu ini kan dibuat tidak menggunakan bahan pengawet. Jadi kalau kita kemudian tidak bisa bersaing dalam satu hal, misalnya packagingnya saja, kita enggak bisa bersaing dengan masyarakat ASEAN lainnya," ujar Puan.

Selain itu, Puan juga menggarisbawahi pentingnya produsen jamu menyasar anak muda sebagai pangsa pasar. Besarnya jumlah penduduk usia produktif di Indonesia bisa menambah pasar di dalam negeri. Belum lagi, bila produk jamu menjadi lebih menarik dan diterima oleh masyarakat asing. 

"Saya juga berharap packaging yang dibuat perusahaan jamu dibuat lebih ke-anak muda, tidak konvensional sekali sehingga mereka mau minum sehari-hari," kata Puan.

Bicara memang mudah, tapi mengembangkan usaha jamu jauh lebih sulit. Dalam kesempatan yang sama, Ketua GP Jamu sekaligus Presiden Direktur PT Nyonya Meneer Charles Saerang mengungkapkan,  saat ini industri jamu terkait dengan beberapa instansi lain. Tanpa adanya koordinasi yang harmonis antara intansi tersebut, maka industri jamu akan sulit berkembang.

Charles menyebut, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Badan POM, serta Kementerian Koordinator Bidang Polhukam terkait dengan industri jamu Indonesia.

Charles mengungkapkan, jamu juga harus bersaing dengan produk ilegal yang berbahaya bagi kesehatan. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan adanya korban jiwa dari jamu ilegal tersebut. Di sinilah kementerian Polhukam berperan.

"Masuknya jamu-jamu ilegal dari luar, termasuk MLM (Multi Level Marketing, red) itu kan tidak punya izin semua. Tiga ini yang jadi pokok masalah mengapa jamu tidak bisa berkembang. Pertama ada jamu kimia, regulasi yang berlebihan, ketiga masuknya jamu asing yang tidak bisa ditanggulangi. MLM itu izinnya dari mana? Perdagangan, bukan Kesehatan. Tapi untuk memasarkan pakai Badan POM. Mereka pikir dapat izin Perdagangan, pasarkan saja diam-diam," kata Charles.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com