KOMPAS.com - Diam-diam Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menandatangani Memorandum of Understanding on Establishing the Asian Infrastructure Investment Bank Among Prospective Founding Members, Selasa (25/11), di Jakarta, dan disaksikan Dubes Tiongkok untuk Indonesia Xie Feng.

Tidak ada media massa lokal memberitakan ini, hanya media massa Tiongkok, termasuk Renmin Ribao (harian Rakyat), yang memberitakannya pada Rabu (26/11) dengan judul ”Yinni Qianshu Choujian Ya Touxing Beiwanglu” (Indonesia Menandatangani Nota Kesepahaman Membangun Bank Investasi Asia).

Ada yang janggal dalam keputusan pemerintahan Presiden Joko Widodo menandatangani MOU pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Bahkan, Kementerian Luar Negeri tidak dilibatkan dalam penandatanganan MOU AIIB ini yang dilanjutkan dengan pertemuan negosiasi pertama AIIB di Kunming, Provinsi Yunnan, Jumat (28/11).

Pemerintahan Indonesia terkesan menghindari publikasi penandatanganan MOU AIIB yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pendiri di antara 22 negara Asia lainnya. Ada dua perspektif muncul dari upaya diam-diam Pemerintah RI. Pertama, menghindari pertanyaan DPR yang berada dalam kemelut politik antara partai-partai pro dan antipemerintah.

Kedua, Indonesia seperti tak mau ketinggalan kereta dalam upaya Tiongkok membangun strategi infrastruktur Asia baru yang disebutnya yi lu yi dai (satu jalan satu sabuk) yang mengacu pada pembangunan infrastuktur di jalur yang disebut sebagai Sabuk Ekonomi Jalan Sutra dan Jalan Sutra Maritim, dan terkesan sangat mengandalkan dana keuangan Tiongkok untuk membangun visi poros maritim Presiden Jokowi.

Transformasi kawasan

Awalnya, kita melihat upaya Tiongkok membentuk AIIB sebagai bagian dari strategi jalur sutra daratan dan lautan sebagai kesempatan bagi Indonesia menghadirkan kebijakan luar negeri Indonesia mentransformasikan kondisi kondusif bagi pembangunan dan pertumbuhan kawasan Asia Tenggara.

Itu sebabnya ketika bertemu dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Beijing, Jokowi mengajukan usul, kalau keterlibatan Indonesia dalam AIIB dengan kondisi lokasi AIIB berada di Jakarta dan Tiongkok perlu mempercepat realisasi perundingan tata berperilaku (code of conduct) di laut Asia Tenggara yang berlangsung terlalu lambat mengelola klaim tumpang tindih kedaulatan di kawasan laut ini.

Kita memahami itikad Tiongkok dalam strategi jalur sutra daratan dan lautan melalui pembentukan AIIB dari sisi pengejawantahan lingkup pengaruh soft power (kekuatan lunak) Tiongkok di kawasan, tetapi sekaligus juga memberikan indikasi keinginan mentransformasikan kawasan konflik Laut Asia Tenggara menjadi kawasan damai dan stabil bagi pembangunan kesejahteraan bersama.

Namun, ketika membaca MOU AIIB secara saksama, pentingnya upaya kerja sama regional bagi pertumbuhan berkelanjutan, memiliki tujuan yang lebih banyak menguntungkan RRT seperti menentukan hak suara berdasarkan saham yang dimiliki. Tiongkok sudah menyatakan, setengah dari dana yang dibutuhkan AIIB sebesar 100 miliar dollar AS disediakan Tiongkok karena kapasitas keuangannya yang memang masif.

Dalam MOU ini juga disebutkan, jika Tiongkok akan mengendalikan apa yang disebut sebagai Sekretariat Interim Multilateral yang akan menghasilkan rancangan pembentukan Articles of Agreement (AOA) tentang tata cara bank ini beroperasi. Keseluruhan isi MOU AIIB ini memang memiliki semangat kebersamaan yang kuat, termasuk penekanan perlunya ketahanan regional menghadapi krisis keuangan dan gangguan dalam konteks globalisasi.

Menghadapi strategi baru Tiongkok menjadi negara adidaya setara AS, ada dua kondisi yang harus dipahami tentang keberhasilan model investasi infrastruktur yang dijalankan Tiongkok selama ini. Pertama, RRT memiliki aset sangat besar, khususnya lahan tanah, sehingga investasi infrastruktur ini menghadirkan sebagian besar pendapatan pemerintah melalui transformasi sosial. Kedua, Pemerintah RRT memiliki manajemen yang efektif, walaupun ada kebocoran seperti korupsi, sehingga manfaat sosial utama bagi pemerintah bisa tercapai.

Keikutsertaan Indonesia dalam AIIB harus menyadari kondisi ini. Transformasi regional dalam mekanisme kerja sama ini harus dipastikan jika kemauan politik dalam rangka luas kerja sama investasi keuangan harus didukung seluruh komponen dalam negeri.

Kita tidak ingin satu dekade ke depan berhadapan di mana strategi ”satu jalan satu sabuk” menjadi platform hegemoni Tiongkok dan investasi infrastruktur harus tetap kembali ke RRT karena keseluruhan strategi Jalur Sutra Tiongkok ini bisa mencapai 21 triliun dollar AS. (René L Pattiradjawane)