Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mafia Migas dari Hulu hingga Hilir Tak Terjamah

Kompas.com - 19/12/2014, 14:54 WIB

Meski demikian, pemerintah tidak berdiam diri. Fahmi Radi, anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, menuturkan, pihaknya telah lakukan kajian terhadap praktik jual-beli blok migas. "Persoalannya, Undang-Undang (UU) Migas kita sangat liberal sehingga memungkinkan banyak masuk trader, baik yang bonafide maupun yang tidak punya infrastruktur. Mereka memburu rente, memanfaatkan kedekatan dengan penguasa," kata Fahdi.

Untuk itu, tim yang diketuai Faisal Basri tersebut bakal mengevaluasi aturan main dan mekanisme tender blok migas yang selama ini dilakoni, termasuk mengajukan rekomendasi revisi UU Migas agar bebas dari para pemburu rente.

Dipicu disparitas harga
Mafia betul-betul masuk ke semua sendi sektor migas Indonesia. Penyaluran BBM bersubsidi menjadi arena pesta pora para maling. Di atas kertas, volume penyaluran BBM bersubsidi tahun ini mencapai 46 juta kiloliter. Namun, menurut anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas lainnya, Djoko Siswanto, tidak ada yang tahu berapa banyak yang benar-benar sampai ke tangan masyarakat.

Penyalahgunaan BBM bersubsidi memang masif. Pelakunya dari pemain kelas yang menggunakan jeriken ukuran belasan liter hingga mafia terorganisasi yang menggunakan kapal tanker berbobot puluhan ton. Motifnya satu, memanfaatkan disparitas antara harga premium dan solar bersubsidi dengan BBM nonsubsidi.

Ambil contoh, pada 1 Agustus 2014, harga solar bersubsidi Rp 5.500 per liter. Di saat yang bersamaan, harga pertamina dex (pertadex) di Jakarta mencapai Rp 13.150 per liter. Artinya, ada selisih harga sebanyak Rp 7.650 per liter. Jika solar bersubsidi dijual Rp 10.000 per liter saja, banyak pelaku usaha yang berebut membeli.

Alhasil, sepanjang Januari hingga November 2014 lalu, polisi mengungkap 350 kasus penimbunan BBM bersubsidi dengan 392 tersangka. Para pelaku menjual minyak ke industri ataupun diselundupkan ke negara tetangga, seperti ke Timor Leste dan Singapura.

Setelah harga BBM bersubsidi naik pada pertengahan November lalu, disparitas harga memang menipis. Namun, penyalahgunaan BBM bersubsidi masih tetap terjadi. Contohnya, polisi menangkap tiga truk tangki yang mengangkut sekitar 50 ton BBM bersubsidi yang diduga diperoleh secara ilegal di Jambi, Rabu (10/12/2014). "Selama masih ada disparitas harga, penyalahgunaan BBM bersubsidi akan tetap ada," ujar Pri Agung.

Masalahnya, disparitas harga BBM tak akan bisa dihilangkan. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Migas, pemerintah wajib menyediakan BBM bersubsidi untuk konsumen di dalam negeri.

Upaya untuk mengendalikan penyalahgunaan BBM pun digagas dan dikaji. Singkat cerita, lewat Peraturan BPH Migas Nomor 6 Tahun 2013, Pertamina pun menggelar program Sistem Monitoring dan Pengendalian BBM memanfaatkan teknologi radio frequency identification (RFID).

Tender pengadaan RFID dimenangkan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti). Perusahaan pelat merah yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, itu bakal menyediakan 100 juta RFID yang dipasang di kendaraan dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Inti lantas menggandeng perusahaan Korea, Global Optical Communication Co, Ltd, mendirikan PT Inti Global Optical Communication Indonesia. Perusahaan patungan ini mendirikan pabrik RFID di Bandung, dan beroperasi pada Maret 2014.

Menurut keterangan resmi Inti, hingga 6 Agustus 2014, mereka telah memasang 352.641 RFID di Jakarta, plus instalasi di 254 SPBU di Ibu Kota. Akan tetapi, proyek ini belakangan malah jalan di tempat. "Program RFID masih jalan, tetapi kemajuannya belum berarti. Sampai sekitar dua bulan yang lalu, (RFID) baru terpasang di 300.000-400.000 kendaraan," kata Adiatma.

Menurut Adiatma, kerja sama dengan Inti merupakan kontrak jasa, bukan barang. Singkatnya, kalau RFID sudah terpasang di dua juta kendaraan dan sistemnya berjalan, barulah Pertamina membayar tagihan kepada Inti. Fee yang didapat Inti sebesar Rp 18 per liter dari setiap penjualan BBM di SPBU.

Nah, Inti disebut-sebut mengalami masalah keuangan lantaran pelemahan nilai tukar rupiah sehingga proyek ini terhambat. Akan tetapi, Djoko punya cerita lain. Menurut dia, ketika program RFID tengah berjalan, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) disuruh menghentikan program tersebut dan diganti dengan skema kartu BBM non-cash. "Ini kan ada permainan mafia supaya RFID enggak jalan. Kalau jalan, enggak bakal ada BBM subsidi lari ke industri," kata bekas Direktur BBM BPH Migas ini.

Sayang, Djoko tak bersedia mengungkapkan, siapa yang menekan BPH Migas untuk menghentikan program RFID. "Saya enggak bisa sebut namanya, tetapi ada yang bisikin. Yang bisikin ya pemburu rente itu. Kan, dia biasanya mendekati pejabat," bebernya.

Mafia migas memang enggak ada matinya. Gawat! (Herry Prasetyo, Mimi Silvia, Surtan PH Siahaan, Tedy Gumilar)

Bbaca juga: Indonesia Rawan Dipermainkan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com