Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mafia Migas dari Hulu hingga Hilir Tak Terjamah

Kompas.com - 19/12/2014, 14:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ibarat kentut, keberadaan mafia migas tak kentara oleh khalayak umum. Akan tetapi, dampaknya teramat menyesakkan. Sektor minyak dan gas (migas) Indonesia, dari hulu hingga ke hilir, dikuasai oleh mereka, dengan memanfaatkan kekuasaan dan celah dalam aturan.

Akibatnya sungguh fatal. Cadangan migas Indonesia tak banyak bertambah. Produksi migas yang terus turun, kata pengamat energi Pri Agung Rakhmanto, salah satunya karena akumulasi aksi mafia selama bertahun-tahun.

Fasilitas kilang pengolahan minyak mentah, misalnya. Setelah 10 tahun, Pertamina akhirnya baru akan menambah kapasitas dari 820.000 barrel per hari (bph) menjadi 1,68 juta bph. Harap catat baik-baik, "baru akan", ya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyebut bahwa dirinya tidak memiliki bukti soal siapa mafia migas yang menyebabkan modernisasi dan penambahan kapasitas kilang tak berjalan sebelumnya. Hanya, faktanya, penundaan dan pembiaran terjadi sehingga cadangan bahan bakar minyak (BBM) kita makin terbatas, dan ketergantungan terhadap impor semakin besar. "Kalau posisi stoknya mepet terus-menerus, ya tentu saja harganya dimainkan oleh pasar. Itu, kan, sebenarnya kerugian yang didesain," kata Sudirman.

Toh, Pertamina berkilah bahwa pembangunan kilang yang lambat lantaran keterbatasan anggaran. Manajer Media Pertamina Adiatma Sardjito menyatakan, perusahaannya mengutamakan bisnis di sektor hulu yang menghasilkan untung lebih besar. Baru, setelah itu, Pertamina bisa membangun dan memperluas kapasitas kilang.

Masih soal impor minyak, ulah mafia migas sejatinya sangat kentara dalam proses pengadaan sehingga pembelian minyak untuk kebutuhan dalam negeri sangat tergantung pada broker. Padahal, banyak produsen yang bersedia menjual minyaknya langsung ke Indonesia. Sudirman mengungkapkan, seorang petinggi salah satu perusahaan minyak besar datang kepadanya. Dia mengatakan tidak bisa berdagang langsung dengan Pertamina setelah belasan tahun mau melakukan usaha itu. "Minyak kami harus diputar-putar dulu baru sampai ke Pertamina," ujarnya.

Cerita lainnya datang dari Menteri Perminyakan Brunei Darussalam. Meski Brunei tetangga dekat dan berstatus produsen minyak, Pertamina malah membeli minyak dari tempat lain. "Menteri Perminyakan Brunei bilang, kami tidak pernah ditengok untuk dimintai minyak oleh Pertamina," ungkap Sudirman.

Jual-beli blok migas
Salah satu skema yang kini menjadi sorotan adalah praktik jual-beli blok migas. Sudirman mengatakan, banyak pihak yang memperdagangkan konsesi migas tanpa niat untuk mengelolanya dengan baik. Praktik jual-beli blok migas sejatinya hal yang lumrah dalam bisnis minyak dan gas bumi. Masalahnya, aksi semacam ini nyaris tanpa kontrol.

Berdasarkan catatan Kontan, biasanya para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) lebih dulu mengikat perjanjian jual-beli blok migas. Setelah itu, dalam tempo beberapa bulan, barulah pemerintah menyetujui aksi korporasi itu. Alhasil, persetujuan pemerintah tersebut terkesan hanya formalitas.

Jika yang diperjualbelikan adalah blok migas yang sudah berproduksi, maka hal itu masih bisa ditoleransi sepanjang pemegang hak partisipasi alias participating interest (PI) yang baru memiliki komitmen dan kemampuan untuk menjaga, bahkan mendongkrak volume produksi migas.

Masalahnya, blok eksplorasi, bahkan yang belum dijamah sekalipun, sudah diperdagangkan. Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan, dari 320 KKKS yang beroperasi, hanya 10 kontraktor yang berkomitmen melakukan eksplorasi demi mendapatkan cadangan minyak dan gas baru.

Agus Cahyono Adi, Direktur Pengelolaan Program Migas Kementerian ESDM, enggan mengomentari aksi pemburu rente dalam jual-beli blok migas. Yang jelas, tidak ada aturan yang melarang praktik tersebut. Alhasil, pihaknya tidak bisa mengatur transaksi bisnis ini. "Aturannya, kan, sudah jelas semua. Yang mengajak jual-beli blok siapa, kan, kami enggak bisa atur," kilah Agus.

Hanya, Lukman Mahfoedz, Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), menyatakan, pemerintah hendaknya menunjuk kontraktor yang berkomitmen dan memiliki kapabilitas, bukan sekadar mengejar jumlah blok yang diteken. "Kualitas komitmen dari kontraktor juga dilihat, apakah dia punya dana untuk eksplorasi dan lain-lain tidak," katanya.

Haposan Napitupulu, Penasihat Ahli Kepala SKK Migas, menambahkan, pemilihan pemenang tender semestinya diklasifikasi berdasarkan risiko finansial pengelolaan blok. Misalnya, blok-blok yang berisiko tinggi diberikan hanya kepada pemain besar. Dengan begitu, jika KKKS tidak berhasil menemukan cadangan migas yang memadai, kontraktor itu masih bisa menutup kerugian dari keuntungan blok migasnya yang lain. Sementara itu, blok migas yang secara bisnis berisiko rendah diprioritaskan untuk perusahaan nasional.

"Janganlah Exxon Mobile bertarung dengan perusahaan markisa. Exxon pasti kalah karena lawannya enggak pakai hitung-hitungan, tetapi, begitu menang, bloknya enggak diapa-apakan," ujar Haposan.

Halaman:
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com