Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendamba Layanan dan Tarif Listrik yang Kompetitif

Kompas.com - 17/01/2015, 08:07 WIB

Oleh: C Anto Saptowalyono

JAKARTA, KOMPAS - Listrik selalu dicermati publik. Keluhan pasti disuarakan ketika listrik padam. Saat tengah menyala pun kebijakan menyangkut tarif listrik selalu menjadi perhatian. Penyebabnya, listrik berkelindan dengan beragam aktivitas warga, termasuk dunia usaha.

Memasuki tahun 2015, dunia usaha di Indonesia dihadapkan pada pola kebijakan baru penyesuaian tarif listrik. Melalui Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 31 Tahun 2014 yang berlaku 1 Januari 2015, diatur penyesuaian tarif listrik setiap bulan.

Penyesuaian tersebut mengikuti perubahan salah satu atau beberapa faktor yang memengaruhi biaya pokok penyediaan listrik. Artinya, tarif listrik setiap bulan bisa tetap, naik, atau turun tergantung dari nilai tukar, harga minyak Indonesia, atau inflasi.

Dunia usaha pun merespons dengan berbagai sikap. Sebagian kalangan menilai penyesuaian tarif listrik setiap bulan mengakibatkan ketidakpastian
usaha.

Bisa naik, tetap, atau turunnya tarif listrik setiap bulan dinilai dapat menyulitkan pengusaha melakukan kalkulasi bisnis dan menghitung kontrak. Ada pula kalangan dunia usaha yang memaklumi dan membutuhkan waktu adaptasi terhadap kebijakan baru tersebut.
Transparansi penting

Asosiasi Pengusaha Indonesia memberi penekanan pentingnya transparansi dalam penyesuaian tarif listrik setiap bulan.

Pelaku industri membutuhkan layanan berkualitas dan tarif listrik kompetitif. Hal itu dibutuhkan agar industri dalam negeri mampu bersaing, baik untuk mengisi pasar dalam negeri maupun ekspor.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, kualitas layanan berpengaruh terhadap biaya produksi.

Sebagai contoh, proses produksi di industri hilir plastik harus diulang dari awal ketika listrik berkedip atau padam sejenak.

Menurut dia, pengulangan proses dari awal di industri hilir plastik akibat listrik padam sesaat membutuhkan waktu 2-3 jam. Jika padam sesaatnya terjadi di industri hulu, pengulangan proses produksi dari awal bisa memakan waktu dua hari.

Kebutuhan tarif listrik kompetitif antara lain diserukan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat. Hal ini didasari besarnya porsi komponen biaya listrik yang 13-25 persen terhadap total biaya produksi.

Sebagai perbandingan, kata Ade, tarif listrik di Vietnam hanya 6 sen dollar AS per kWh, sama seperti di Korea Selatan. Sementara itu, tarif listrik di Indonesia sudah sekitar 12 sen dollar AS per kWh.

Terkait dengan hal ini, API meminta pemerintah mendorong pembangunan pembangkit yang bisa menghasilkan listrik berharga lebih murah. Pelaku usaha membutuhkan dukungan agar makin mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi di sisi harga.

Tiongkok yang tarif listriknya 12 sen dollar AS per kWh, misalnya, memberikan diskon 50 persen bagi pelanggan industri di Tiongkok yang beroperasi pukul 23.00-05.00.

”PLN, kan, jalan 24 jam. Katakan tidak ada industri yang membutuhkan pasokan pada jam-jam antara pukul 22.00 dan pukul 05.00, lalu listriknya mau dikemanakan? Industri tekstil banyak yang tetap beroperasi 24 jam, seharusnya kegiatan bisnis diberi diskon tarif,” kata Ade.

Seruan API ini dilandasi fakta bahwa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang bercorak padat karya masih dibutuhkan untuk mengatasi angka pengangguran. Total serapan tenaga kerja di industri TPT saat ini 1,6 juta orang.

Sinergi

Menurut API, saat ini pemangku kepentingan harus saling bersinergi agar industri dalam negeri bertumbuh. Hal ini diperlukan supaya Indonesia tidak banjir produk impor dari negara-negara yang memiliki industri berdaya saing kuat. Dukungan bagi industri diyakini akan semakin meningkatkan penggarapan pasar ekspor.

Merujuk data Badan Pusat Statistik, total ekspor Januari-November 2014 adalah 161,67 miliar dollar AS. Adapun total impor sepanjang periode itu 163,74 miliar dollar AS sehingga neraca perdagangan mencatatkan defisit 2,07 miliar dollar AS.

Surplus pada neraca perdagangan nonminyak dan gas bumi (nonmigas) periode Januari-November 2014 yang sebesar 10,02 miliar dollar AS belum mampu menutup defisit pada neraca perdagangan migas yang mencapai 12,09 miliar dollar AS.

Kini saatnya bersinergi meningkatkan daya saing industri. Dunia usaha telah memberi pesan mengenai pentingnya layanan berkualitas dan tarif kompetitif demi kinerja sektor industri di negeri ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com