Menjadi pengusaha adalah salah satunya. Namun, tentu tak semua orang bisa, mau melakukannya atau memiliki panggilan ke sana. Anda tentu tak harus menjadi pengusaha untuk keluar dari zona nyaman. Saya harus katakan, sebagai karyawan pun kita perlu terus-menerus melakukan ekspansi dari kapabilitas yang kita miliki.
Kalau Anda menjadi wartawan, kalau mau survive dalam karier, Anda pun perlu melakukan ekspansi keahlian dari wartawan seni dan gaya hidup menjadi reporter ekonomi, politik, atau olahraga. Dari sekadar membuat reportase dengan keahlian menembus narasumber dan melakukan investigasi, menjadi editor perumus kebijakan editorial, bahkan menjadi praktisi manajemen yang mengurus logistik dan keuangan. Dari wartawan harian ke wartawan online yang ritmenya berbeda dan seterusnya. Itulah yang saya namakan sebagai learning zone.
Demikian juga kalau Anda menjadi seorang insinyur. Industri yang dijelajahi perusahaan tempat Anda bekerja pun berevolusi. Dari sekadar usaha konstruksi menjadi EPC (Enginering Procurement dan Construction), bahkan belakangan banyak construction company yang berevolusi menjadi investment company. Kapabilitas Anda menjadi ujian Anda, sehingga Anda bisa terus berkarier di sana atau menjadi obsolete (usang) dan tersingkir.
Semua usaha dan industri berevolusi, tak ada lagi yang bertahan kalau mereka sekadar transit. SDM pun berevolusi. Bukan hanya hard skill-nya, melainkan juga life skill-nya. Dulu Anda melayani atasan, kini kita wajib memimpin 360 derajat.
Dulu sebagai dosen kita mengajar serba teori, kini harus lebih banyak memberikan ilmu dengan praktik. Dulu membaca saja cukup. Kini kita harus aktif melakukan ekplorasi. Dulu Anda bisa memimpin dengan perintah, kini dengan contoh. Dulu siapa yang mencuri bisa menjadi komandan asal dekat dengan penguasa, kini mereka terganjal.
Semua itu mengajarkan pada kita pentingnya melakukan ekspansi kapabilitas, yang artinya kita harus terlatih keluar-masuk dari zona nyaman. Kapabilitas itu menyangkut keterampilan, sikap, cara, sistem, dan pengetahuan.
Sahabat saya, Hamid, terlihat begitu agile (tangkas). Ia tak merasakan beban untuk keluar dari zona nyaman karena sejak kecil biasa hidup di lapangan, padahal tak sedikit dari teman kami yang kini hidup dalam beragam kesulitan atau kepura-puraan. Mereka menyangkal terhadap perubahan, bahkan mengutuknya dengan amat sinikal.
Ketika kita mendapatkan skill di usia muda, kita sering berpikir dan keahlian atau pengetahuan itu sudah final dan bisa kita bawa untuk memberi nafkah bagi hidup sampai pensiun. Padahal, keahlian dan pengetahuan itu berubah, berkembang terus, sementara fisik kita menua dan otot-otot mulai melemah. Kita tak akan bisa menggunakan kenyamanan itu sebagai SIM hidup selamanya. Maka, saya lebih senang menyebut pensiun dini sebagai karier kedua.
Jadi keahlian atau sekolah kita yang “tamat” itu bisa memerangkap kita. Itulah zona nyaman. Dan mukjizat tidak ada di zona itu.