"Kalau lagi ramai dan dibutuhkan pabrik, saya bisa kirim sampai 50 ton lebih dalam satu hari. Untungnya cukup besar, sampai Rp 120 juta. Kalau waktunya pulang, saya langsung bayar gaji karyawan sekitar Rp 50.000 hingga Rp 100.000, bergantung pekerjaannya," kata dia.
Keberhasilan Kusyono juga terukur dari jumlah luas gudang yang ia miliki. Kini Kusyono memilki sekitar 7 gudang barang rongsokan, 10 rumah megah, 6 hektar sawah, dan beberapa kendaraan. Dia juga sudah beberapa kali menunaikan ibadah haji sekaligus memberangkatkan keluarganya.
Sumber mata pencaharian
Bagi sebagian orang, barang rongsokan kotor, berkarat, dan berbau busuk mungkin dirasa menjijikkan. Namun, di tangan mereka, ribuan ton barang rongsokan jenis kaleng, besi, plastik, kaca, hingga kardus, justru menjadi sumber kehidupan utama.
Sejak matahari terbit, satu per satu warga sudah mendatangi gudang-gudang barang rongsokan yang berjejer di sepanjang kanan-kiri jalan Desa Panguragan. Meski masih perkampungan, hampir sudah tidak ada lagi udara segar lantaran terkontaminasi aroma barang rongsokan yang berceceran ke jalanan lantaran gudang sudah tak menampung lagi.
Cukup dengan pakaian sederhana, sarung tangan, sepatu, dan helm menjadi alat paling aman bagi para pengorek barang rongsokan ini. Mereka menyortir barang rongsokan berjenis kaleng, besi, kardus, untuk dimasukkan ke dalam bagiannya masing-masing.
Setelah terkumpul, barang rongsokan berjenis kaleng, mereka masukkan ke dalam truk kontainer hingga semua bak kontainer terisi kaleng bekas. Tiap kontainer yang berisi kaleng, besi, dan barang rongsokan lainnya, mereka kirim ke pabrik besar di wilayah Jakarta, Tangerang, Surabaya, dan sejumlah daerah lainya.
Kandeg adalah satu dari ribuan warga desa setempat yang berprofesi sebagai pengorek dan penyortir barang rongsokan. Ia sudah tiga tahun lebih berkerja di tempat yang kotor dan bau. Dia merasa lebih senang dengan pekerjaan yang dia geluti sekarang ketimbang jadi sopir angkot yang sebelumnya ia geluti.
"Lumayan, hasil kerja jadi tukang rongsok dapat mencukupi keluarga kami. Gajinya pun cukup tinggi dari sopir angkot. Dulu saya hanya dapat mengumpukan Rp 500.000 dalam satu bulan dan habis untuk sehari-hari. Tapi, jadi tukang rongsok, saya dapat kumpulkan lebih dari Rp 1 juta dalam sebulan karena makan sehari-hari kadang dibelikan bos," ujarnya.
Namun, satu hal yang tak bolah Kandeg lupakan, yakni berbobat dan check up setiap satu minggu sekali untuk menjaga kondisi kesehatan dirinya.
Banyaknya pengusaha barang rongsokan kelas kecil, menengah, hingga skala besar menjadikan Desa Panguragan dijuluki "Kampung Rongsokan". Dari barang-barang yang dianggap tak bernilai inilah, ratusan jiwa manusia di desa ini terus bertahan hidup.
Bahkan, bisa jadi, barang elektronik atau semua perabot rumah yang Anda miliki berasal dari barang bekas ini yang sudah berhasil didaur ulang dan menjadi barang-barang tertentu.