Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Bojonegoro Menjerit, Harga Gabah Terus Anjlok

Kompas.com - 07/05/2015, 15:16 WIB
BOJONEGORO, KOMPAS.com - Harga gabah hasil panen padi di tingkat petani di Kabupaten Bojonegoro terus anjlok pasca musim panen tahun ini. Kondisi tersebut membuat petani makin menjerit dan mengharapkan harga gabah hasil panen tetap stabil.

Sukir, petani di Dusun Glagah, Desa/Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro mengungkapkan, pasca panen terakhir, harga gabah yang dihasilkannya terus merosot. Dia menuturkan, harga gabah yang semula Rp 3.500 per kilogram, dalam sebulan terakhir ini turun menjadi Rp 3.200. Harga itu kemudian turun lagi menjadi Rp 3.000, bahkan sempat anjlok hingga Rp2.800 per kilogram di Desa Sakirman.

"Awal musim panen dulu harga jual gabah masih di kisaran Rp 4.200. Masuk panen raya, harga anjlok di kisaran Rp 3.500, lalu turun lagi Rp 3.200 per kilo, dan sekarang anjlok lagi di kisaran Rp 3.000 per kilonya," ujarnya saat ditemui di areal sawah garapannya, Rabu (6/5/2015).

Akibat terus anjloknya harga jual gabah hasil panen, petani merugi dan tidak cukup untuk membiayai musim tanam kedua. Belum lagi hasil panen padi di lahan sawahnya tidak maksimal akibat serangan hama.

"Kalau normal, satu hektare lahan sawah itu mampu menghasilkan 7-8 ton gabah," ujarnya sambil menjemur gabah padi.

Saat ini lahan persawahan di wilayah Bojonegoro yang panen padi hampir habis. Tercatat sebanyak 103 ribu hektare lahan sawah di daerah bantaran Sungai Bengawan Solo dan di daerah lainnya mulai tanam padi kedua.

Dengan kondisi harga gabah yang anjlok, tak ayal tengkulak gabah banyak mengincar hasil panen padi di Kabupaten Bojonegoro. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Jombang, Gresik, Banyuwangi, Blora, dan Pati, dan Jawa Tengah.

Petani lainnya, Haryono mengungkapkan, para tengkulak mengincar hasil panen padi di Bojonegoro karena dikenal sebagai daerah lumbung pangan. Bulog enggan menerima hasil panen petani setempat sehingga banyak gabah dibeli tengkulak dari luar daerah.

"Rendahnya harga gabah di Bojonegoro ini karena permainan para tengkulak. Bahkan, tengkulak itu masih menyetorkan gabah dari sini ke tengkulak lainnya, bisa sampai ketiga tengkulak, setelah itu entah ke mana," ujarnya.

Saat harga gabah jatuh, Divisi Regional III Sub-Bulog Bojonegoro dinilai kurang memainkan perannya untuk menyerap gabah petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) yang sudah ditetapkan pemerintah sebesar Rp3.700 per kilogram berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015.

Haryono menjelaskan, petani setempat enggan berurusan dengan Bulog dikarenakan persyaratan dari Bulog terlalu memberatkan para petani yang rata-rata areal sawah garapannya kecil. Sementara itu, syarat dari Bulog, misalnya kualitas kadar air gabah tidak boleh terlalu tinggi dan jumlah produksi yang disetorkan harus banyak.

"Jika bisa memenuhi syarat itu baru gabah dibeli Bulog dengan menandatangani kontrak. Tapi, di sini rata-rata yang dihasilkan petani tidak bisa memenuhi persyaratan itu," katanya.

Penyerapan yang dilakukan oleh Bulog di lapangan memang masih belum maksimal karena terkendala kualitas gabah dan beras yang tidak sesuai ketentuan Inpres. Sebagai contoh, berdasarkan Inpres No.5/2015, HPP berlaku untuk GKP dengan kadar air maksimum 25%, sementara banyak beras petani yang kadar airnya di atas 25%, bahkan di atas 30%.

Petani menilai, proses yang berbelit-belit tersebut membuat petani lebih memilih menjual hasil panennya ke tengkulak meski harga rendah. Karena petani terdesak dengan modal untuk mengejar tanam berikutnya.

Menyiasati

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com