Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Edukasi ke Konsumen, Bekal Masuk ke Pasar Ritel

Kompas.com - 04/08/2015, 20:43 WIB


KOMPAS.com - Edukasi ke konsumen menjadi bekal masuk ke pasar ritel. Berbeda dengan pasar proyek atau korporasi, tantangan di pasar ritel lebih beragam lantaran tingkat pemahaman konsumen berbeda satu sama lain. "Kami ekspansi ke pasar ritel setelah 40 tahun berpengalaman di pasar proyek," kata Direktur Pemasaran dan Operasional Utomodeck Metal Works Anthony Utomo pada Senin, kemarin.

Menurut Anthony, saat ini, permintaan di pasar ritel cukup besar. Pemicunya adalah pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang tinggi. Secara khusus, kelas menegah yang menjadi bidikan Utomodeck adalah kelompok masyarakat terdidik dan pasangan yang baru menikah. "Nantinya mereka tinggal di luar Jakarta," tutur pria berkacamata ini.

Lebih lanjut, Anthony mengatakan pasar ritel juga menjadi ceruk bidang konstruksi. Secara lebih spesifik, Utomodeck adalah spesialis atap maupun bangunan berbasis metal. Atap adalah mahkota bangunan. Secara fungsional, atap memegang peran besar. "Apa pun yang ada di bawah, kalau atap tidak berfungsi dengan baik, ya, yang di bawah enggak ada nilainya," imbuh Anthony.

Meski sudah berkecimpung lama di pasar proyek, Anthony mengaku, pihaknya masih harus mempersiapkan banyak hal agar pasar ritel yang akan dimasuki benar-benar paham.

Secara rinci, penetrasi di pasar proyek mencapai angka 70 persen dari seluruh produk Utomodeck. Dari jumlah itu, dua kategori pasar proyel yang diambil adalah industrial yakni pabrik dan kilang serta kawasan komersial yaitu mal, bandar udara dan sebagainya.

Satu contoh, papar Anthony, pihaknya melakukan edukasi ihwal atap tanpa sambungan dengan sistem bergerak (mobile system). Atap tanpa sambungan memiliki panjang yang tidak terbatas. Atap ini akan disesuaikan dengan ukuran bangunan. Dengan sistem bergerak, pembuatan dan pemasangan atap langsung dilakukan di lokasi. "Ini seperti memindahkan pabrik ke lokasi proyek. Kami sekaligus membawa mesin pemotongnya," katanya.

Masih menurut Anthony, pihaknya memang sudah mematenkan atap tanpa sambungan berikut mobile system tadi. Dengan cara ini, konsumen mendapat jaminan penghematan mulai
dari bahan baku, pengerjaan berikut risiko-risiko seperti pengangkutan dan pengerjaan.

Atap tanpa sambungan pada September 2014 mendapatkan ganjaran Guinness World Record dan Museum Rekor Indonesia. Saat itu, Utomodeck mencatatkan atap tanpa sambungan sepanjang 200,9 meter sebagai atap sambungan terpanjang di dunia. Atap ini menjadi penutup stok batubara (coal shelter) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Rembang.

Peluang

Anthony menerangkan pula bahwa pihaknya memang sudah memasang lebih dari satu juta meter persegi atap tanpa sambungan sejak riset dilakukan pada 1992. Ia menyebutkan beberapa proyek antara lain di Bandara Juanda Terminal 2 Surabaya, PLTU Pacitan, Gedung Mahkamah Konstitusi, dan Taman Ismail Marzuki. Proyek lainnya adalah di Exxon  Mobile Cepu dan gedung olahraga di Mimika, Provinsi Papua, serta bangunan di Pabrik Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, Sumatra Selatan. "Lima tahun terakhir, pertumbuhan di pasar proyek rata-rata di atas 40 persen," tuturnya.

Sementara, dalam hitung-hitungan Anthony, pihaknya mampu memproduksi atap tanpa sambungan mencapai 5000 metrik ton per bulan. "Sebetulnya, utilisasi ini masih di bawah. Artinya, masih banyak peluang yang bisa dikembangkan," katanya.

Di Tanah Air, potensi pasar untuk atap metalik termasuk dengan adanya produk impor mencapai 100.000 metrik ton per bulan. Dari jumlah itu, Utomodeck akan meraup 20.000 metrik ton per bulan. Andai rencana ini terpenuhi, separuh dari target itu alias 10.000 metrik ton per bulan bakal menyasar pasar ritel.

Menurut penjelasan Anthony, ekspansi ke pasar ritel berujung pada waralaba Utomodeck. "Tapi, itu adalah rencana jangka panjang," katanya.

Pada rencana jangka pendek, Utomodeck akan menyasar toko-toko bangunan. "Mereka adalah perpanjangan tangan kami," ujarnya lagi sembari menambahkan bahwa di pasar ritel, produk atap Utomodeck mulai dari banderol harga Rp 30.000 per meter.

Sampai dengan akhir tahun ini, lanjut Anthony, pihaknya akan membidik pasar di Jawa Timur di kota-kota seperti Surabaya, Situbondo, Bondowoso, Tuban, Bojonegoro, Pacitan, dan Banyuwangi. Ekspansi tahap berikutnya adalah Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com