Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mafia Pangan, Repotnya Memberantas Para "Samurai" dan "Naga"

Kompas.com - 03/09/2015, 10:15 WIB

Kebijakan pemerintah
Ketiga, koordinasi antar-kementerian. Tengok saja soal kebijakan pangan yang tak pernah beres.

Sekitar September 2011, Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad pernah berseteru dengan M.S. Hidayat, mantan Menteri Perindustrian, soal penyegelan kapal impor garam. Di era Joko Widodo, mantan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel juga sempat berbeda pendapat dengan Susi Pudjiastuti tentang perlu tidaknya impor garam.

Lantas, kita juga ingat kisruh daging sapi yang masih bergejolak. Awalnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bersikukuh stok sapi di dalam negeri cukup sehingga tak perlu impor. Eh, tak lama berselang, Gobel menunjuk Perusahaan Umum (Perum) Bulog mengimpor 50.000 sapi bakalan di kuartal III 2015. Tak cuma Bulog, importir sapi bakalan swasta juga ikut kebagian jatah impor 50.000 ekor sapi.

Waktu itu, Gobel tak cukup membuat pasar tenang. Pasalnya, sapi impor yang masuk ke Indonesia di kuartal I dan II masing-masing sebanyak 75.000 ekor dan 250.000 ekor. Belakangan, Thomas Trikasih Lembong, Menteri Perdagangan, malah menyebut, Indonesia akan mengimpor 200.000–300.000 ekor sapi di kuartal  IV 2015. “Saya dan Menteri Pertanian sudah bicara dan siap mengguyur pasar daging,” ujar dia.

Pernyataan ini sempat menimbulkan masalah lantaran Amran merasa belum menyetujui impor itu. Namun belakangan, Amran mengonfirmasi bahwa yang dimaksud rekan sejawatnya itu adalah impor untuk kebutuhan tahun depan. Proses impornya memang sudah dilakukan sejak kuartal IV lantaran butuh waktu panjang hingga sapi-sapi sampai dari negara asalnya.

Keempat, kebijakan pemerintah yang buruk sehingga praktik kartel bisa terjadi dengan relatif mudah. Contoh saja, kuota impor. “Kartel itu, pemerintah yang ciptakan lewat bagi-bagi kuota (impor),” timpal Faisal Basri, pengamat ekonomi, kepada Kontan, Kamis (27/8/2015).

Penetapan kuota impor, kata Faisal, sebetulnya merupakan bentuk lain dari kartel yang diciptakan pemerintah sendiri. “Mengapa pemerintah tidak mengenakan bea masuk sehingga siapa saja bisa memperoleh akses yang sama untuk mengimpor?” tanya dia.

Dengan begitu, pemerintah bisa menikmati penerimaan dari bea masuk dan bisa digunakan untuk meningkatkan produksi dalam negeri dan membantu produsen atau petani. Sebab, yang paling diuntungkan pada instrumen penetapan kuota adalah pemilik lisensi yang tak lain adalah rent seekers. Dengan tarif bea masuk tersebut, mekanismenya tentu akan lebih transparan.

Tak hanya itu. Beberapa kebijakan pemerintah lainnya juga terkesan salah. Saat dirinya menjadi anggota KPPU, lanjut Faisal, PT Superintending Company of Indonesia (Persero) alias Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia sangat leluasa membuat joint operation dalam preshipment inspection untuk impor gula. Contoh lainnya, sekarang Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tarif asuransi kerugian umum yang mencapai sekitar tiga kali lipat dari tarif sebelumnya.

Halaman:
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com