Pada tahun 1685 Inggris datang ke Bengkulu dan mendirikan kantor perdagangan melalui EIC (East India Company) pertama kali mendirikan pos dagang di Pulau Pinang dekat Krui. Dari pulau Pinang Inggris berhubungan dagang dengan Lampung, barang-barang yang diperdagangkan oleh bangsa Inggris yaitu lada dan kopi.
Bangsa Eropa dan para pedagang dari daerah lain lebih memilih Bengkulu untuk dijadikan tempat berlabuhnya para pengusaha dagang dikarenakan letak geografis daerahnya yang strategis dan tanah Bengkulu yang subur untuk dijadikan lahan tanam penghasil rempah-rempah, seperti cengkeh, pala, lada, kopi, dan tanaman lain yang cukup laku di pasaran dunia.
Kolonial Inggris berkuasa di Bengkulu selama 140 tahun terhitung mulai dari tahun 1685 dan berakhir pada tahun 1825 dengan adanya perjanjian London (Treaty of London). Untuk mengamankan kepentingan politik dan dagang rempah-rempah Inggris juga membangun Benteng Marlboroguh pada tahun 1714 lengkap dengan gudang hingga senjata pertahanan. Belakangan benteng ini disebut terbesar di Asia Tenggara.
Kedigdayaan rempah diakui Berlian (40) seorang anak petani cengkeh di Kabupaten Kaur, Bengkulu. Ia menceritakan, bagaimana orangtua-orangtua saat itu gemar bertanam cengkeh. Dari hasil cengkeh mereka mampu menyekolahkan anak hingga ke Pulau Jawa dan beberapa universitas terkemuka.
"Petaka cengkeh terjadi tahun 1980-an saat itu petani mendapatkan bantuan sosial berupa obat pembunuh hama, namun saat obat tersebut diberikan tanaman cengkeh petani banyak mati, sementara saat itu sedang gencarnya kampanye tanaman kelapa sawit dan petani berpindah menanam sawit," cerita Belian.
Ia menyebutkan, pertanian lada dan cengkeh di Bengkulu perlahan mulai ditinggalkan padahal harga pasar komoditi tersebut tak pernah murah. "Petani mulai berpindah ke kelapa sawit padahal tanaman ini fluktuasinya tajam dan tak ramah lingkungan, pemerintah daerah harus melihat potensi itu baik melalui sejarah dan kondisi daerah," kata Berlian.
Sementara itu Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah merasa heran dengan masyarakat yang ikut-ikutan menanam kelapa sawit. Terlebih sawit itu dikenal pohon yang rakus air dan tak ramah lingkungan. "Kenapa harus ikut-ikutan tanam sawit yang rakus air itu, padahal ada tanaman pala yang harganya sungguh menjanjikan Rp 115.000 per kilogramnya, dan itu khas Indonesia," kata Junaidi Hamsyah.
Ia menambahkan, di Bengkulu, banyak tanah pekarangan yang tak dimanfaatkan oleh masyarakat. Jika dikelola dengan menanam tanaman produktif dan ramah lingkungan itu dapat membantu pendapatan keluarga.
Walhi Bengkulu mencatat luasan perkebunan kelapa sawit terus bertambah di daerah itu mencapai 450.000 hektare sementara kebun pala, lada dan cengkeh tak terdata secara baik. Berlian berharap pemerintah daerah juga serius menyiapkan langkah perkebunan lada, cengkeh, dan pala untuk meningkatkan pendapatan petani dan menyumbang perekonomian daerah. Rempah-rempah dapat menjadi primadona ekonomi jika tak disingkirkan.
Tonton juga: