Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rempah-rempah, Primadona yang Tersingkirkan

Kompas.com - 11/09/2015, 10:50 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Di saat ribuan petani karet dan kelapa sawit di Bengkulu menjerit karena harga komoditas ekspor andalan perkebunan tersebut jatuh terhempas menyentuh harga Rp 500 per kilogram untuk kelapa sawit dan Rp 4.500 untuk getah karet,  kondisi berbeda dialami oleh puluhan petani lada dan cengkeh yang semringah karena meraup untung berlipat-lipat.

Sulastri seorang petani lada di Kabupaten Kepahiang, pada panen lada kali ini,  langsung melunasi kredit truknya. "Seperti biasa harga lada Rp 120.000 per kilo gramnya, tahun ini panen membaik saya bisa melunasi kredit truk saya," kata Sulastri, Kamis (10/9/2015).

Harga lada dan cengkeh atau komoditas rempah-rempah cenderung stabil Harga terburuk yang pernah dialami petani yakni Rp 45.000 per kilogram beberapa tahun lalu, setelah itu harga kembali stabil di atas Rp 100.000 per kilogram.  Dari lada dengan luas satu hektar, Sulastri mampu mendapatkan uang hingga Rp 350 juta per tahun. Pencapaian ini sulit dilebihi bahkan disamai oleh hasil petani kelapa sawit.

Sejarah kejayaan rempah Bengkulu sebenarnya banyak tercatat dalam lembaran cerita perjuangan daerah itu. Dosen Fisip Universitas Bengkulu Agus Setiyanto, dengan rapi menuliskan kedigdayaan rempah-rempah Bengkulu yang justru cenderung tersingkirkan oleh kelapa sawit.

Buku Agus Setiyanto berjudul "Elite Pribumi Bengkulu Prespektif Sejarah Abad 19" menuliskan Bangsa Spanyol datang ke Bengkulu pada tahun 1698 dengan membawa bibit cengkeh dan pala. Kemudian pada tahun 1703 Spanyol mulai memperdagangkan hasil tanaman cengkeh dan pala ke luar negeri.

Tetapi pada tahun 1721 bangsa Spanyol meninggalkan Bengkulu karena merasa hasil tanaman cengkeh dan pala di Bengkulu sudah tidak menguntungkan.

kompas.com/Firmansyah Benteng Marlborough dibangun Inggris. Selama 140 tahun menjajah Bengkulu Inggris membangun benteng yang disebut terbesar di Asia Tenggara ini guna mengamankan perdagangan rempah-rempah dan kepentingan politik selama di Bengkulu

Pada abad XVIII dan awal abad XIX (1800-1900) Perancis menduduki daerah Bengkulu. Hal ini merupakan periode kemelut bagi sejarah di Eropa mulai dari revolusi Perancis dan diteruskan dengan perang Napoleon. Ini membawa dampak negatif bagi politik perdagangan bangsa Perancis di luar negeri. Dengan menurunnya hasil perdagangan dan permintaan hasil rempah-rempah ke luar negeri.

Pada tahun 1685 Inggris datang ke Bengkulu dan mendirikan kantor perdagangan melalui EIC (East India Company) pertama kali mendirikan pos dagang di Pulau Pinang dekat Krui. Dari pulau Pinang Inggris berhubungan dagang dengan Lampung, barang-barang yang diperdagangkan oleh bangsa Inggris yaitu lada dan kopi.

Bangsa Eropa dan para pedagang dari daerah lain lebih memilih Bengkulu untuk dijadikan tempat berlabuhnya para pengusaha dagang dikarenakan letak geografis daerahnya yang strategis dan tanah Bengkulu yang subur untuk dijadikan lahan tanam penghasil rempah-rempah, seperti cengkeh, pala, lada, kopi, dan tanaman lain yang cukup laku di pasaran dunia.

Kolonial Inggris berkuasa di Bengkulu selama 140 tahun terhitung mulai dari tahun 1685 dan berakhir pada tahun 1825 dengan adanya perjanjian London (Treaty of London). Untuk mengamankan kepentingan politik dan dagang rempah-rempah Inggris juga membangun Benteng Marlboroguh pada tahun 1714 lengkap dengan gudang hingga senjata pertahanan. Belakangan benteng ini disebut terbesar di Asia Tenggara.

Kedigdayaan rempah diakui Berlian (40) seorang anak petani cengkeh di Kabupaten Kaur, Bengkulu. Ia menceritakan, bagaimana orangtua-orangtua  saat itu gemar bertanam cengkeh. Dari hasil cengkeh mereka mampu menyekolahkan anak hingga ke Pulau Jawa dan beberapa universitas terkemuka.

"Petaka cengkeh terjadi tahun 1980-an saat itu petani mendapatkan bantuan sosial berupa obat pembunuh hama, namun saat obat tersebut diberikan tanaman cengkeh petani banyak mati, sementara saat itu sedang gencarnya kampanye tanaman kelapa sawit dan petani berpindah menanam sawit," cerita Belian.

Ia menyebutkan, pertanian lada dan cengkeh di Bengkulu perlahan mulai ditinggalkan padahal harga pasar komoditi tersebut tak pernah murah. "Petani mulai berpindah ke kelapa sawit padahal tanaman ini fluktuasinya tajam dan tak ramah lingkungan, pemerintah daerah harus melihat potensi itu baik melalui sejarah dan kondisi daerah," kata Berlian.

Sementara itu Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah merasa heran dengan masyarakat yang ikut-ikutan menanam kelapa sawit. Terlebih sawit itu dikenal pohon yang rakus air dan tak ramah lingkungan. "Kenapa harus ikut-ikutan tanam sawit yang rakus air itu, padahal ada tanaman pala yang harganya sungguh menjanjikan Rp 115.000 per kilogramnya, dan itu khas Indonesia," kata Junaidi Hamsyah.

Ia menambahkan, di Bengkulu, banyak tanah pekarangan yang tak dimanfaatkan oleh masyarakat. Jika dikelola dengan menanam tanaman produktif dan ramah lingkungan itu dapat membantu pendapatan keluarga.

Walhi Bengkulu mencatat luasan perkebunan kelapa sawit terus bertambah di daerah itu mencapai 450.000 hektare sementara kebun pala, lada dan cengkeh tak terdata secara baik. Berlian berharap pemerintah daerah juga serius menyiapkan langkah perkebunan lada, cengkeh, dan pala untuk meningkatkan pendapatan petani dan menyumbang perekonomian daerah. Rempah-rempah dapat menjadi primadona ekonomi jika tak disingkirkan.

Tonton juga:

Kompas TV Kopi Muria, Beraroma Rempah Khas Kudus

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com