Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Bagian 1)

Kompas.com - 12/10/2015, 05:30 WIB

Waktu saya tanyakan kepada para taipan kita yang membangun kawasan permukiman dan industri di tepi-tepi jalan tol, mereka pun buka mulut. "Pemerintah kita tidak pandai memanfaatkan peluang. Bangun jalan tol, tetapi hanya membebaskan jalannya saja. Kami lihat itu sebagai peluang, maka kami bebaskan tanah-tanah di dekat jalur keluarnya agar menjadi kawasan industri dan permukiman," kata seorang pengusaha.

Seorang taipan mengaku value creation-nya mencapai 30 hingga 50 kali lipat. Dari modal Rp 1 triliun, kembalinya Rp 30 triliun. Modalnya pun disediakan mitra asing. Pantaslah mereka begitu cepat masuk dalam daftar orang terkaya dunia.

Lantas bagaimana BUMN kita? Business model BUMN kita di masa lalu hanya fokus pada
keahliannya, ya fokus. Ambil contoh saja Perumnas yang membangun kawasan
permukiman, lalu menyerahkan perawatan wilayahnya pada pemerintah daerah. Business
model mereka tidak menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan (recurring income).

Sekarang bandingkan dengan pengembang-pengembang superblok yang setiap bulan
memungut service charge dari berbagai jasa yang mereka jual: kebersihan, listrik dan air, sewa, keamanan, parkir, dan seterusnya.

Kalau Anda tinggal di gedung bertingkat, Anda tentu paham apa yang saya maksud. Setiap bulan Anda kena pungutan antara Rp 500.000 hingga Rp 2 juta. Itu semua masuk ke tangan pengelola gedung, yang tak lain adalah pengembang itu sendiri.

Sekarang kita jadi mengerti mengapa return BUMN kita banyak yang kurang menarik,
padahal mereka berusaha dalam bidang yang sangat menguntungkan dan pasarnya captive.

Kini ketika cara pandangnya berubah, giliran kita banyak yang tidak siap dan mati-matian mengkritik. Sementara, kalau BUMN kita kalah dengan Temasek (BUMN Singapura) atau Khazanah (Malaysia), kita juga ikut mengejek mereka. Padahal, keuntungan BUMN dapat menjadi kontributor penting bagi APBN. Ia juga bisa menjadi akselerator pembangunan yang bekerja sama dengan mitra-mitra usaha swasta nasional.

Kuncinya: Mengenal ekosistem bisnis

Ini bukan soal patgulipat memutar uang, tetapi pemahaman atas business model. Kalau
Anda masih belum paham, mari kita lihat bisnisnya anak-anak muda yang kalau Anda kurang
paham, Anda pasti akan mengatakan mereka tak bakalan untung. Misalnya, bagaimana
mungkin Go-Jek bisa untung kalau hanya memungut Rp 15.000 untuk rute yang lumayan jauh. Padahal, ojek pangkalan saja untuk rute yang sama jauhnya menuntut Rp 30.000?

Anda juga pasti akan ditertawakan Starbucks kalau menjual secangkir kopi seharga Rp
7.000. Mengapa? Karena, ia saja terancam rugi walaupun harga secangkir kopi pahitnya
(Americano) sudah Rp 40.000.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com