Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Bagian 1)

Kompas.com - 12/10/2015, 05:30 WIB

Seven Eleven Indonesia dengan model bisnis berbeda mampu membuktikan bahwa ia bisa untung sekaligus menjadikan outlet-nya teramai di dunia. Jawabannya adalah business model mereka berbeda.

Yang satu jual kopi, yang lainnya jual ekosistem anak muda, yang satu bisnis ojek, dan satunya bisnis aplikasi internet. Dan, untuk memahami hal ini, Anda perlu mempelajari ekosistem usaha yang digeluti.

Demikian juga Anda bisa menertawakan Tune Hotel yang menyewakan kamarnya di bawah
Rp 100.000 per malam, dan mungkin Anda akan ikut menolak proposal bisnisnya karena
hotel yang menjual kamar seharga Rp 1 juta per malam saja belum tentu menangguk untung.
Jangan lupa, Tune Hotel pernah memasang iklan beberapa tahun lalu dengan tarif Rp 35 (ya,
tiga puluh lima perak) per malam. Kok bisa bertahan tahunan dan untung?

Jawabannya karena business model hotel lainnya dengan Tune berbeda.

Sekarang saya ajak Anda melirik guncangan dalam industri media. Dulu penerimaan media berasal dari dua sumber, yakni sirkulasi dan iklan. Kini tidak lagi. Berbekal luasnya jaringan
narasumber, kini setiap media punya unit yang mengelola bisnis seminar, pelatihan, event organizer, dan penerbitan.

Sama halnya dengan bisnis perbankan yang meraup untung bukan dari pendapatan bunga,
melainkan fee-based income. Jadi kini sumber penerimaan perusahaan tak lagi dari satu atau
dua sumber konvensional, tetapi lebih luas. Sumber itu datang dari ekosistem industrinya.

Hal serupa terjadi pada industri yang lain. Perusahaan-perusahaan kontraktor, misalnya,
dulu sumber penerimaannya hanya dari bisnis konstruksi. Kini tidak lagi. Mereka juga menggali penerimaan dari bisnis jasa rekayasa, pengadaan, dan konstruksinya, atau biasa disebut Engineering, Procurement, and Construction (EPC).

Belajar dari membangun proyek orang lain, perusahaan kontraktor jadi bertambah pintar.
Mereka nyaris tahu segala sektor industri. Maka, tak heran kalau bisnis perusahaan-perusahaan konstruksi melebar ke mana-mana. Ada yang masuk ke bisnis properti, pembangkit listrik, jalan tol, hingga menjadi perusahaan investasi (investment company).

Menggali bisnis dari ekosistem industrinya membuat perusahaan lebih punya banyak
peluang untuk menjaring pendapatan. Itulah yang dilakukan perusahaan-perusahaan kita,
termasuk BUMN. Itulah dunia mereka. Maka, saya tak habis mengerti ketika ada pihak yang
begitu khawatir saat BUMN-BUMN kita diajak berkongsi menggarap proyek kereta cepat dalam koridor Jakarta-Bandung.

Mereka khawatir BUMN kita tak mampu, bakal merugi, atau modalnya tidak cukup. Tapi, itu
belum cukup. Tuduhannya banyak sekali, yang intinya: sudahlah, jangan lakukan, Anda tak akan sanggup! Bahkan ada yang mengatakan BUMN-BUMN kita mau karena dipaksa menterinya.

Pendapat semacam ini jelas naif dan merendahkan kemampuan BUMN kita yang sudah
piawai dalam berbisnis. Bahwa mereka masih perlu belajar, ya, itu sudah pasti. Tetapi, sudah
saatnya kita satukan kekuatan, percayai bangsa sendiri, dan sama-sama hadapi kekuatan lobi
asing yang modalnya tak terbatas untuk memecah belah masa depan bangsa ini.

Zaman sudah berubah, pengetahuan kita pun jauh lebih baik. Sayang kalau para pengamat kurang berani menggalinya. Konsep bisnis memang bukan hal yang mudah untuk dianalisis dalam sejam dua jam. Ilmu ini terus berkembang.

Baiklah, bagaimana soal peluang bisnis yang akan muncul dalam ekosistem proyek koridor Jakarta-Bandung ini akan saya bahas lebih lanjut besok. Semoga Anda bersabar.

ist Prof Rhenald Kasali
Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi anggota Pansel KPK sebanyak 4 kali dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi acuan dari bisnis sosial di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com