Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Orang seperti RJ Lino Selalu "Diganggu"?

Kompas.com - 19/10/2015, 05:30 WIB
                                        Oleh Rhenald Kasali
                                            @Rhenald_Kasali

KOMPAS.com - Menulis tentang Lino (CEO Pelindo II) sama seperti menulis sejarah tokoh-tokoh perubahan.

Dan sejatinya, dewasa ini ada banyak CEO setipe RJ Lino di BUMN. Kita pernah punya trio change leaders di BUMN perhubungan. Yang satu sukses mengubah wajah kereta api (Ignasius Jonan). Satunya sukses meremajakan Garuda Indonesia (Emirsyah Satar) dan satu lagi spesialis meremajakan pelabuhan (RJ Lino).

Di Pelindo I sampai IV pun kita punya CEO yang tak kalah hebatnya dalam memimpin perubahan. Demikian pula di BUMN kekaryaan, migas, kebandarudaraan, dan lain sebagainya.

Indonesia jelas butuh CEO transformatif, bukan yang hanya pandai komplain, banyak bicara, dan ingin kembali ke masa lalu saat BUMN menjadi rumah yang guyub dan tak berprestasi.

Malaysia dan Singapura rela merekrut CEO transformatif dari global market tanpa kegaduhan sama sekali. Sementara kita harus bangga karena Indonesia punya mereka.

Apa yang mereka lakukan sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus menjadi berita besar, karena begitulah layaknya perubahan. Bedanya, mereka adalah orang yang terpanggil dan punya nyali.

Kalau ada riuh dari serikat pekerja, saya kira itu bukanlah hal baru. Demikian juga kegaduhan politik. Kita pahami saja kegenitan politisi dalam mencari panggung. Nanti mereka juga akan diam dengan sendirinya karena tak ada pula yang harus diributkan.

Memang bagi sebagian orang, perubahan itu adalah sebuah kecelakaan besar. Mereka yang sudah kadung nyaman dengan rutinitas, tiba-tiba harus ikut bertarung untuk memajukan perusahaan.

Belajar lagi, melakukan hal-hal baru, diberi target, dan dilarang melakukan pungli. Semua itu baik, tetapi menjadi tidak baik bagi mereka yang takut kehilangan. Resistant to lose.

Tetapi baiklah, kata Barbra Streisand (dalam hit-nya Lesson to be Learned):

"Just like the seasons,
there are reasons for the path we take
There are no mistakes
Just lessons
Lessons to be learned.... "

Bukan penjahat

Kalau Anda membaca berita tentang progres dan leadership RJ Lino, mungkin Anda merasakan sesuatu yang dinamis, tetapi ia sama sekali bukan penjahat.

Mari kita dalami.


Tahun 2010, tak lama setelah dilantik, saya mendengar komentarnya di hadapan para CEO BUMN tentang paparan yang saya berikan, yaitu pentingnya memimpin transformasi.

Berani, lugas, dan cerdas, itu kesan saya. Dan, seperti kebanyakan insinyur lulusan ITB lainnya, saya lihat ia juga punya pola yang sama: percaya diri.

Pendekatannya berbeda dengan kebanyakan eksekutif BUMN yang cenderung cari aman dan low profile.

Seminggu berikutnya, saya saksikan sebuah keributan besar terjadi di Jakarta: tragedi makam Mbah Priok. Di televisi, lagi-lagi saya melihat Lino angkat bicara. Tanpa rasa takut ia hadapi orang-orang yang kita sudah tahu dikenal aktif memeras.

Ia tak biarkan Pelindo menjadi santapan mereka. Demikian pula saat menteri-menteri pad era SBY menghadapinya, ia tak pernah gentar kalau digertak atau dibatasi.

Dari situ saya mulai mengerti, orang ini serius memimpin perubahan.

Masalahnya di Tanjung Priok ada banyak rigidity. Space-nya rigid, padahal untuk bersaing melawan Malaysia dan Singapura, Indonesia perlu area pelabuhan yang luas dan modern.

Kalau pelabuhan sudah dikepung permukiman, kapasitas untuk tumbuh akan terhambat dan ekonomi Indonesia tak akan bisa menjanjikan kesejahteraan.

Gagal meluaskan pelabuhan ke depan, ia pun memilih mundur ke belakang: reklamasi.

Di dalam perusahaan, kulturnya juga rigid, karyawannya juga sudah sangat menikmati keberadaan. Akibatnya, pelayanan saat ia masuk tak begitu bagus.

Seperti antrean truk yang teramat panjang, semrawut, lamban, dan pungli banyak sekali. Peralatannya kuno, kecepatannya sangat lamban, manajemennya old fashioned (ketinggalan zaman).

Lino pun membongkarnya. Gaji pegawai ia naikkan. Tanyakanlah secara random, Anda akan menemukan, rata-rata pegawai lulusan SLTA bergaji RP 10 juta per bulan. Kalau Anda kurang percaya, tanyakanlah kepada para anggota serikat pekerja yang berdemo menentangnya.

Saya saja terkejut. Karyawan JICT itu dulunya bergaji di bawah Rp 10 juta per bulan, tetapi sekarang antara Rp 37 juta hingga Rp 99 juta per bulan.

Pertanyaannya, mengapa mereka begitu keras menentang Lino?


Saya kira mudah menganalisisnya. Sebab, apa pun alasan yang diucapkan, dengan gaji dinaikkan, Anda tak bisa lagi bersantai-santai seperti kemarin.

Cara kerja guyub dan kurang elok sudah pasti harus ditinggalkan. Siapa pun yang melakukannya terancam dimutasi atau dikeluarkan.

Awal tahun ia memimpin, saya mendengar sudah 50 orang lama dikeluarkan karena berbagai alasan. Ini mengusik rasa nyaman, tetapi baik bagi masa depan bangsa.

Setelah itu saya mendengar ada 25 orang pegawai yang dikirim sekolah ke Belanda. Sewaktu saya berkunjung ke kampus Erasmus Universiteit, saya mendengar dari dekan setempat tentang telepon RJ Lino agar mereka mau menerima 20 pegawai Pelindo II untuk melanjutkan studi di sana.

“Kalau mengikuti prosedur, mereka kemungkinan baru diterima beberapa tahun kemudian, bahkan sebagian belum memenuhi kriteria,” ujar mereka.

Tetapi, Lino kembali mengikuti saran saya bahwa pegawai harus dibukakan matanya agar mampu “melihat”.

Alhasil, mereka pun berangkat. Pengetahuan dan wawasan meningkat. Sejak itu muncullah kegairahan belajar.

Anak-anak muda lulusan kampus-kampus terkemuka berebutan masuk menjadi pegawai Pelindo II. Kalau ditanya mengapa, mereka menjawab tiga hal ini: ingin melakukan perubahan, gaji besar, dan bisa sekolah ke luar negeri.

Kedatangan anak-anak muda ini jelas merupakan ancaman bagi pegawai-pegawai lama yang tak mau berubah.

Saya sempat mengingatkan Lino, “Hati-hati, mereka butuh mainan. Kalau tidak, kelompok yang merasa terancam dapat mengorganisir kekuatan. Apalagi bila gaji mereka sudah besar, mereka bisa merekrut konsultan dan lobyist untuk menyingkirkan Anda.”

Lino kelihatannya paham, tetapi ia bukan tipe orang yang kompromistis.

Musuh berdatangan

Kalau ada yang mengatakan Lino itu sombong, mungkin saya orang yang paling setuju. Tetapi, saya kira ia berbeda dengan figur-figur politisi yang biasa kita lihat angkuh dan arogan tanpa hasil kerja.


Lino sombong karena ia berprestasi, berani, dan uncompromised. Jadi, saya pikir wajar saja. Tetapi, mengapa tekanannya begitu kuat?

Begini, dalam melakukan perubahan pada instansi pemerintah yang sudah dibelenggu zona nyaman, Anda memang harus tampil superberani.

Maklum, semua orang merasa punya hak. Anda harus memotong gurita satu per satu. Awalnya mereka berteriak, tetapi setelah itu mereka melakukan konsolidasi dan melawan, sampai mereka menemukan orang-orang yang bisa diperalat.

Musuh pertama sebenarnya bukan karyawan yang tak mau berubah atau mereka yang kenyamanannya diambil, melainkan birokrasi. Saya tak heran kalau mantan-mantan dirjen berupaya keras menjungkirbalikkan Lino.

Itu bermula dari upaya Lino menata antrean panjang di pelabuhan pada tahun 2009. Penyebabnya ternyata ada di loket Bea dan Cukai yang sering kali hanya membuka satu loket.

Melihat truk antre, ia menghubungi Bea dan Cukai setempat, tetapi tidak dilayani. Setelah itu, ia pun mengirim SMS ke Menteri Keuangan, yang saat itu dijabat Sri Mulyani.

Ternyata Sri Mulyani menindaklanjuti dan para dirjen kalang kabut.

Lino rupanya bukan hanya mengusik Bea dan Cukai. Ia juga membuat resah Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, serta mitra-mitranya dari pemerintah yang mengurus pelabuhan.

Anda tahu kan, saat itu regulasi telah membelit Indonesia, dan itu artinya “rezeki” bagi mereka dengan memperlambat proses di pelabuhan.

Izin-izin impor dan ekspor bukan dibuat untuk mengatur, tetapi justru untuk memberi nafkah kekayaan bagi para pemeriksa. Jadilah dwell time di negeri ini lama, mahal, dan penuh ketidakpastian.

Lino lalu mengundang lembaga-lembaga internasional untuk melakukan pemetaan.

Pertengahan tahun lalu, dua lembaga yang diminta tolong Lino menunjukkan kepada saya mengenai temuannya itu. Saya benar-benar terperangah karena Lino sudah siap bertindak.

Saya pun kembali mengatakan kepada RJ Lino, siap-siap menghadapi perlawanan. Lino bukannya menyurutkan langkah, malah makin bersemangat.


Ia pun melakukan presentasi kepada presiden sehingga membuat Joko Widodo beberapa kali mengunjungi pelabuhan. Dan, ketika para aparat birokrasi “bersandiwara” menyambut Jokowi saat kunjungan kedua, ia pun buka suara.

Saya yakin Anda sudah membacanya. Katanya di hadapan pers, "Kemarin itu Presiden disuguhi sandiwara besar."

Sistem satu atap seakan-akan tak ada masalah. Padahal, mereka hanya “setor muka” saat Presiden ada di situ. Setelah itu mereka kembali menghilang, melayani melalui kaki tangan mereka di kantor yang sudah diatur masing-masing di luar.

Kalau Anda berada di posisi Lino, saya pun berkeyakinan Anda akan habis dibalas mereka.

Tetapi, mereka sempat terkejut saat satu per satu oknum dwell time ditangkap aparat Polda Metro Jaya. Selebihnya mereka kembali berkonsolidasi.

Hasil berbicara

Saya tentu bisa bercerita banyak dan menyajikan data-data yang saya miliki tentang Pelindo. Menurut saya, pada akhirnya datalah yang harus bicara, bukan opini “katanya-
katanya”. Mari kita tengok.

Sebelum Lino masuk ke Pelindo (2009), kontainer yang ditangani pelabuhan ini hanya 3,6 juta TEU. Selain itu, antrean macet dan semrawut. Setelah ia menata, kini antrean relatif lancar.

Dengan penataan itu, pelabuhan Tanjung Priok mampu menampung 7,2 juta kontainer (ukuran 22 feet, istilahnya TEUs).

Keuntungan Pelindo II pun membaik. Kalau terminal I dan II sudah jadi, revenue per tahunnya di atas Rp 20 triliun. Itu tiga kali dari revenue hari ini.

Dengan asetnya lebih kurang hanya Rp 11 triliun hari ini, Pelindo akan berubah menjadi perusahaan dengan aset Rp 40 triliun.

Saya tidak tahu jurus apa yang akan dipakai politisi yang tak paham berhitung bisnis untuk menelisik perusahaan kelas dunia kita.

Semoga saja mereka diberikan karunia untuk membaca prestasi anak bangsa sendiri dan mau mengakuinya.

Prestasi ini tentu membuat pelabuhan Singapura dan Tanjung Pelepas (Malaysia) gagal mencapai target.

Kalau dulu hanya kapal-kapal kecil yang bisa merapat, kini kapal-kapal bermuatan 5.000 kontainer pun mulai berdatangan. Mereka justru ingin langsung ke Tanjung Priok tanpa bongkar ke kapal-kapal kecil di Singapura atau Tanjung Pelepas.

Meski kualitas pelayanan birokrasi kita (Bea dan Cukai dll) yang dalam Logistic Performance Index menurun, secara menyeluruh, malah jadi membaik. Padahal, infrastruktur belum ditambah.

Berkat kegigihannya membangun system dan governance, oleh KPK, ia juga diberi penghargaan sebagai instansi pemerintah yang melayani publik dengan baik dan setelah itu, reputasinya diakui dunia.

Perusahaan yang ia pimpin pun memperoleh pendapatan yang bagus berkat negosiasinya dengan HTC yang mengelola pelabuhan lama.

Sekadar diketahui, JICT sudah mengikat kontrak dengan Pelindo sejak tahun 1999 pada era pemerintahan Habibie yang akan berakhir pada tahun 2019.

Ada yang mengatakan bahwa prosesnya melanggar hukum. Namun, dari kajian hukum yang dilakukan Fakultas Hukum UI, saya justru membaca apa yang ia lakukan telah sesuai dengan koridor hukum.

Lino adalah pejabat yang tertib. Ia selalu meminta kajian dari para ahli sebelum mengambil tindakan.

Masih banyak yang bisa saya jelaskan. Namun, saya harus berhenti di sini sambil mengajak kita semua merenung: Mengapa kita selalu membuat batu ganjalan pada tokoh-tokoh perubahan yang berjasa bagi negeri ini?

Tidak pantas kita berbicara tanpa data dan berkelahi dengan bangsa sendiri. Bukankah di seberang sana banyak orang senang melihat kita kembali terpuruk seperti masa-masa lalu? Silakan direnungkan.

ist Prof Rhenald Kasali
Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi anggota Pansel KPK sebanyak 4 kali dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi acuan dari bisnis sosial di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul "Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com