Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun Jokowi-JK, Wakil Ketua Komisi IV Soroti Swasembada Pangan hingga Kabut Asap

Kompas.com - 20/10/2015, 08:37 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Setahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron melihat, pemerintah belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Kondisi itu semakin diperparah dengan terjadinya musibah kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan.

Ia mengatakan, saat ini harga sejumlah komoditas bahan pokok terbilang cukup tinggi. Hal itu tidak terlepas dari ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga stok barang serta kenaikan harga BBM.

"Seperti beras misalnya. Harganya tinggi karena Bulog tidak mampu menyerap beras petani. Di sisi lain, stok semakin menipis," kata Herman kepada Kompas.com, Senin (19/10/2015).

Jokowi-JK saat kampanye pernah berjanji akan menciptakan tiga juta hektar lahan pertanian untuk petani dalam kurun waktu lima tahun. Namun, di tahun pertama ini, ia menyebut, baru sekitar 40.000 hektar lahan pertanian yang telah dibuka.

Sementara itu terkait rencana rencana impor beras, Herman mendukung langkah pemerintah tersebut. Hal itu karena, menurut dia, saat ini stok beras nasional tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakt hingga akhir tahun.

Namun, ia mengingatkan agar kebutuhan akan impor beras ini tidak didompleng oleh maksud tertentu dari kelompok tertentu.

"Stok beras lagi tidur. Akhir tahun kita butuh antara 3-3,5 juta ton, tapi sekarang kita hanya punya sekitar 1 juta ton. Dengan pengadaan produksi 1.000 ton per hari, maka agak sulit untuk memenuhi kebutuhan tersebut," ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut, pemerintah berencana membuka keran impor beras dari Vietnam. Hal itu perlu dilakukan untuk menjaga stok dalam negeri yang terus menipis akibat dampak El Nino.

Kabut Asap
Dalam kurun waktu beberpa bulan terakhir ini, sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan terpapar kabut asap. Hal itu tidak terlepas dari ulah pengusaha perhutanan yang membuka lahan dengan cara membakar hutan.

Herman menuturkan, pemerintah telah berupaya untuk meredakan dampak kabut asap yang ada. Namun, upaya tersebut dianggap belum maksimal.

Bahkan sebaliknya, meski Presiden telah memberikan tenggat waktu penanggulangan musibah kepada petugas, jumlah kawasan yang terpapar kabut asap semakin banyak.

"Setelah ada ultimatum dua minggu justru sebaliknya malah semakin banyak. Kawasan Indonesia timur juga ada yang kena dampak," ujar anggota DPR dari Fraksi Demokrat tersebut.

Musibah kabut asap bukan kali ini saja terjadi. Beberapa tahun belakangan musibah serupa juga pernah tejadi. Menurut dia, terjadinya musibah saat ini tidak terlepas dari minimnya anggaran pengawasan hutan.

Ia menjelaskan, di dalam RAPBN 2016, jatah alokasi anggaran untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hanya Rp 6,3 triliun. Alokasi itu turun Rp 200 miliar dari jumlah anggaran pada APBN 2015.

Dengan alokasi anggaran yang ada, petugas Kementerian LHK diminta mengawasi kawasan hutan yang luasnya 120 juta hektar.

"Itu artinya, kalau anggaran itu dialokasikan semuanya untuk pengawasan, tiap hektar anggarannya cuma Rp 52.500 per tahun," ujarnya.

Perikanan

Selain persoalan di atas, Herman menyoroti manajemen tata kelola usaha perikanan.

Ia menyatakan, prestasi yang diraih Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini baru sebatas pada penenggelaman kapal asing.

Padahal, sebutnya, jika melihat anggaran kementerian tersebut yang diusulkan naik pada RAPBN 2016 dari Rp 6 triliun menjadi Rp 15 triliun, Menteri Susi Pudjiastuti seharusnya dapat berbuat lebih untuk nelayan tradisional.

Menurut dia, saat ini banyak nelayan tradisional sulit melaut karena adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik.

Herman mengatakan, selama ini banyak nelayan tradisional yang menggunakan alat penangkap yang dilarang di dalam peraturan tersebut. Dengan adanya larangan tersebut, para nelayan kini kesulitan ketika akan melaut karena khawatir akan berhadapan dengan petugas yang berwajib.

"Oke cantrang jangan, tapi gunakan pola bertahap. Kalau sekarang nelayan kemampuannya hanya itu, lalu ada peraturan tersebut, mereka kan nggak bisa melaut," kata dia.

Peraturan itu, kata dia, kontradiktif dengan keinginan Presiden yang ingin agar nelayan tradisional hidup dapat sejahtera.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com