“Karena di industri sawit ini ada lima juta orang yang bekerja di situ. Jangan sampai nanti dengan membabi buta dicabutin izinnya, akhirnya pengangguran terjadi. Padahal belum tentu mereka bersalah,” jelas Eddy.
Sejauh ini yang juga disayangkan Eddy, KLHK hanya berkutat pada korporasi besar dalam melihat masalah kebakaran hutan.
Padahal, kata Eddy, banyak juga petani swadaya yang membuka ladang dengan cara membakar hutan.
Hal ini dibuktikan dengan laporan dari CIFOR dan Global Forest Watch yang menyebutkan titik api saat ini lebih banyak ditemukan di luar konsesi.
Di sisi lain, GAPKI sendiri, lanjut Eddy mempunyai early warning system (EWS) untuk mengantisipasi kebakaran hutan.
Eddy juga menegaskan, tidak mungkin juga anggotanya dengan kesengajaan membakar aset perusahaan.
“Yang terjadi sekarang anggota kita justru ikut memadamkan yang di luar konsesi. Cuma kadang-kadang justru kita dilarang oleh masyarakat, karena mereka sengaja untuk berladang. Makanya tolong aturan itu ditutup. Tinggal sekarang bagaimana masyarakat berladang tanpa membakar, zero burning,” kata Eddy.
Aturan yang dimaksud Eddy tak lain adalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Eddy mengatakan, undang-undang ini memungkinkan pembukaan lahan dengan cara dibakar.
Cara ini merupakan yang paling murah bagi petani swadaya. Menurut Eddy, apabila UU 32/2009 ini direvisi maka aturan-aturan yang ada di bawahnya akan mengikuti.
Ditemui dalam kesempatan sama, manajer kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi berharap pemerintah cermat dalam melihat industri sawit di Indonesia.
“Saat ini kita belum menemukan perkebunan yang sustainable seperti apa. Yang kita temukan kencang bersuara sustainable, yang dikampanyekan pelaku usaha, lebih kepada manipulasi imagi negara-negara konsumen bahwa sawit enggak merusak lingkungan. Padahal faktanya, hampir semua sawit yang diproduksi korporasi dilakukan dari proses babat hutan,” jelas Zenzi.
Kebakaran hutan yang saat ini terus terjadi – tidak seperti masa lampau – menunjukkan bahwa perkembangan industri sawit makin tak terkendali.
Padahal, lanjut Zenzi, suatu industri dikatakan sustainable apabila memenuhi syarat tiga hal, yaitu tidak menganggu pertumbuhan ekonomi, tidak mengganggu pertumbuhan lingkungan, serta tidak mengganggu pertumbuhan sosial.
“Sampai saat ini kita melihat ekspansi perkebunan kelapa sawit memang melonjakkan status kekayaan beberapa orang, tapi menghancurkan tatanan kultur dan lingkungan. Dia (industri sawit) tidak sustainable ketika negara harus mengeluarkan uang yang besar untuk mengendalikan dampak yang ditimbulkan,” ucap Zenzi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.