Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pak Presiden, Ingatkah Arah yang Ditujukan Bung Hatta?

Kompas.com - 02/11/2015, 06:01 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

KOMPAS.com -  "Pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia Merdeka seluruhnya"

Sekitar 67 tahun silam, tepatnya pada 2 September 1948, kata-kata itu disebutkan Bung Hatta untuk menunjukkan arah politik luar negeri Indonesia. Saat itu, bagi republik yang baru seumur jagung, arah begitu penting.

Kekhawatiran diombang-ambingkannya republik di tengah perang dingin saat itu, Amerika dengan liberalisme-nya dan Uni Soviet dengan komunisme-nya, kian mencuat.

Tetapi Bung Hatta hadir, berdiri, menunjukan arah itu. Pidatonya yang berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang" di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), diangap sangat penting bagi sikap luar negeri Indonesia. Kemandirian ekonomi yang tak bergantung kepada "karang-karang", jadi arah tujuannya.

"Sebagai bangsa kita harus punya prinsip. Kerjasama apapun, bila ada dua karang, lihat itu punya dampak positif enggak buat ekonomi kita. Kalau tidak kita harus tetap mendayung di tengah-tengah, enggak usah ke karang sini, enggak usah ke karang sana," ujar Pengamat Ekonomi Enny Sri Hartati kepada Kompas.com akhir pekan lalu.

Jangan jadi bangsa konyol
Kekonyolan bisa saja terjadi kepada bangsa yang plin-plan menentukan arah kebijakan politik luar negeri dan ekonominya. Kini, arah itu kembali dipertanyakan saat ekonomi global dikuasai oleh dua negara adidaya yakni China dan AS.

Pertama, hubungan Pemerintah Jokowi dengan China terbilang sangat dekat. Dengan slogan poros maritim dunia, Indonesia tak mau ketinggalan kereta dalam upaya China membangun strategi baru infrastruktur Asia yang disebutnya yi lu yi dai (satu jalan satu sabuk).

Slogan itu pun menjadi rekat. Poros maritim nampak disambut baik oleh China dengan sabuk ekonomi jalan sutranya. Buktinya, Negeri Tirai Bambu ini menyatakan siap menggelontorkan dana 100 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.300 triliunan untuk investasi infrastruktur di Indonesia. Salah satunya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Kedua, hubungan dengan Negeri Paman Sam tak jauh beda. Bahkan, kepada Presiden AS Barack Obama beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi blak-blakan ingin bergabung kedalam Trans Pasific Partnership (TPP) yang dipimpin AS.

"Indonesia bermaksud untuk bergabung dalam Trans-pacific Partnership," kata Jokowi dalam jumpa pers bersama di Camera Spray, Gedung Putih, Senin (26/10/2015).

Arah pemerintah itu memantik kembali pertanyaan, kemanakah arah politik dan ekonomi bangsa yang kini sudah berumur 70 ini?

"Pertanyaanya gini, pemerintah sudah punya kalkulasi belum? Punya kajian belum? Ini konyol kalau suatu kebijakan diambil karena pesaing (dagang Indonesia) ikut TPP. 'Kalau enggak ikut, matilah kita', konyol kalau seperti itu," kata Enny.

Sejak 4 tahun silam, AS memang sangat ingin menciptakan zona perdagangan bebas Trans-Pasifik. Oleh karena itulah, AS mendorong Jepang, mengupayakan kesepakatan antara 12 negara penggerak 40 persen ekonomi dunia yang tergabung dalam TPP.

Kerjasama Perdagangan TPP diyakini akan mengikat anggotanya sehingga tak memiliki keleluasaan dalam perdagangan global.

Tak mau kalah, China juga mendorong pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas di Asia Pasifik (FTAAP). Upaya itu jelas disampaikan dalam pertemuan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-22 APEC di Beijing pada November 2014 lalu.

Hasilnya, para pemimpin APEC setuju perlunya upaya pencapaian FTAAP secara bertahap berdasarkan konsensus yang telah disepakati.

Di tengah konstelasi politik global dan ekonomi saat ini, arah yang ditunjukan Bung Hatta 68 tahun silam itu masih lah relevan.

"Mendayung di antara dua karang itu masih sangat relevan buat kita. Saya kira, kita harus memikirkan sikap kita ke Eropa seperti apa, ke Asia Timur dan Amerika seperti apa," ujar  Ekonom Universitas Indonesia, Berly Martawardaya.

Sekarang, arah tersebut kembali ada di tangan pemerintah, tangan Presiden Jokowi. Lantas Pak Presiden, masih ingatkah arah yang ditunjuk Bung Hatta?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com