Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Alasan AS "Membajak" Trans-Pacific Partnership

Kompas.com - 12/11/2015, 06:14 WIB
Yoga Sukmana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Usai kedatangan Presiden Jokowi di Gedung Putih, Amerika Serikat, Senin (26/10/2015). Kata Trans Pacific Partnership (TPP) kian banyak ditulis, diperbincangkan, bahkan dibawa ke forum-forum diskusi.

Lantas apa sebenarnya TPP?

Berdasarkan jurnal kajian Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) Edisi 16, pada November 2013, yang berjudul "Implikasi Kerjasama Trans-Pacific Partnership guna Meningkatkan Peran Indonesia di Kawasan ASEAN dalam rangka Ketahanan Regional", TPP adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik. DI sini, Amerika Serikat (AS) sebagai motor utamanya.

Jurnal tersebut juga menjelaskan bahwa perjanjian TPP bersifat komprehensif. Selian meliputi liberalisasi di semua sektor dengan sifat terjadwal dan mengikat, TPP juga membahas isu lain yang sebut sebagai yakni Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), kebijakan kompetisi (competition policy), belanja pemerintah (government procurement), dan fasilitasi perdagangan.

"Dengan demikian TPP boleh dikatakan merupakan kesepakatan perdagangan bebas dengan standar yang sangat tinggi, yang berada di atas standar kesepakatan perdagangan bebas di WTO, APEC, dan ASEAN," tulis Lemhannas dalam jurnal tersebut.

Saat ini, AS memang negara yang menjadi motor utama TPP. Tapi sebenarnya, bila melihat sejarah, AS bukanlah negara memprakarsai terbentuknya TPP.

Menurut Ekonom senior Center for Strategic and International Studies (CSIS) Djisman Simandjuntak, AS adalah negara yang "membajak" TPP.

"Tapi mengapa dia (AS) membajak TPP, wallahu a'lam (dan Allah Yang Lebih Tahu)," ujar Djisman di Kantor CSIS, Jakarta, Rabu (11/11/2015).

Sebagai suatu kerjasama perdagangan bebas, TPP awalnya muncul pada 2005 dengan nama Trans-Pacifc Strategic Economic Partnership Agreement (TPSEP).

Ada empat negara di Kawasan Asia Pasifik yang memprakarsai yaitu Singapura, Chile, Selandia Baru, dan Brunei Darussalam.

Meski tak tahu persis mengapa AS membajak TPP, dia memiliki analisis sendiri.

Pertama, alasan kuat mengapa AS "membajak" TPP lantaran Tiongkok melesat maju menjadi negara global power. Alasan pertama Djisman bukan hisapan jempol belaka.

Dilansir Reuters, Rabu (21/1/2015), Presiden AS Barack Obama sempat menyebut China sedang menciptakan aturan-aturan baru ekonomi di Asia. Bila itu dibiarkan, kata dia, pekerja dan bisnis AS akan dirugikan.

Karena hal itulah, Obama berusia keras meloloskan RUU Kesepatakan Perdagangan Bebas Asia-Pasifik pada pertengahan tahun 2015 di Kongres AS.

Djisman melanjutkan, alasan kedua AS membajak TPP karena melihat hubungan China dan Jepang mendingin.

Meski sempat mesra. hubungan kedua negara Asia Timur itu kini memang sedikit renggang karena berbagai sebab. Akibatnya, ucap dia, Jepang mendeklarasikan diri bergabung dengan TPP.

Selain kedua alasan itu, Djisman juga menduga alasan AS "membajak" TPP lantaran melihat negara-negara yang tergabung dalam Asean pecah dalam politik luar negerinya.

Alasan terakhir adalah karena AS memang berkeinginan kembali menancapkan pengaruh di Asia-Pasifik setelah perang Vietnam.

Saat ini TPP berisikan 12 negara yang merupakan penggerak 40 persen ekonomi dunia. Negara-negara tersbeut adakah AS, Jepang, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, Singapura, Australia, Selandia Baru, Kanada, Meksiko, Cile, dan Peru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com