Apesnya Tiongkok cuma satu: kita sudah biasa melihat sepeda motor China yang kualitasnya jauh di bawah Jepang. Lagi pula kita biasa melihat kecelakaan kereta api dalam sepuluh tahun belakangan ini.
Ini persis seperti diplomasi otomotif dan tekstil dari Jepang tahun 1970-an yang memicu sentimen negatif di Jakarta (Malari 1974). Kita saat itu tahunya Jepang hanya mampu membuat sandal jepit dan bemo yang ringkih.
Jepang saat itu sungguh menjengkelkan. Apalagi ditengarai adanya kolusi dengan regulator dan petinggi militer. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Jepang berhasil memperbaiki kualitas produk dan perilakunya.
Metode manajemen Jepang yang didukung disiplin, kontrol yang ketat, budaya korporat, dan sistem yang baku (dan ramping) menarik perhatian dunia. Otomotif, alat berat, mesin dan alat-alat hiburannya kita terima dengan baik di sini.
Besar kemungkinan Tiongkok kini mengkopi semua itu dengan cepat. Buktinya, investasi global pun hijrah ke negara itu.
Bahkan sejak dipimpin Ignasius Jonan, ribuan pegawai PT Kereta Api Indonesia disekolahkan di perusahaan-perusahaan Kereta Api Tiongkok.
Maka, saya agak bingung membaca berita-berita yang menuntut agar kita memilih Jepang.
Selain meminta jaminan finansial dari negara dan harganya lebih mahal, kita ketahui Jepang ingin menunda pembangunan kereta cepat di sini sampai industri otomotifnya saturated (jenuh).
Itu sebabnya, para pengamat yang terbiasa bekerjasama dengan Jepang selalu mengatakan proyek KA Cepat China ini terlalu terburu-buru.
Mereka Bersahabat dengan Urbanisasi?
Tetapi baiklah kita kembali ke pertanyaan semula, mengapa Tiongkok memilih untuk bersahabat dengan urbanisasi?
Pertama, urbanisasi harus dipandang sebagai sebuah kesempatan besar untuk mengangkat derajat kaum miskin yang selama ini menjadi penonton.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.