Ryan Filbert
@RyanFilbert
KOMPAS.com - Di tengah sebuah midnight sale di suatu mal, saya melihat bagaimana setiap orang rela antri dan mau berkorban hingga malam hari demi sebuah harga diskon.
Pertanyaan pun muncul, apakah saya sendiri juga berada di tempat itu karena keinginan sendiri?
Ah.... Rupanya tidak, namun karena 'orang dekat' di sekeliling saya.
Saya pun kembali teringat tulisan pada buku Marshall Sylver berjudul Passion, Profit & Power yang menyampaikan bahwa hanya 1 persen orang yang menguasai 50 persen uang beredar di dunia. Sementara itu, 5 persen orang menguasai 90 persen uang di dunia.
Meskipun kita (saya dan Anda) sudah paham makna uang dan kekayaan, kadang karena begitu banyaknya "orang dekat" di sekeliling, kita bisa ikut terseret dalam budaya konsumtif.
Midnight sale seakan sebuah peristiwa sakral yang hanya terjadi seabad sekali. Nyatanya, di tengah perlambatan ekonomi, justru semakin banyak yang 'cuci gudang' tanpa sebab.
Mau disebutkan bulan apa? Awal tahun, hari raya, hari kasih sayang, masuk sekolah, libur semester, kemerdekaan, Halloween, ulang tahun kota, libur akhir tahun, dan masih banyak lagi yand dijadikan momentum untuk sebuah diskon yang katanya besar untuk semua barang-barang.
Memahami budaya konsumtif dan menahan diri untuk tidak terseret adalah sebuah hal yang baik dan benar. Namun apa daya, bila "orang dekat" tidak mendukung dan memahaminya?
Bagaimana bila "orang dekat" itu mungkin pasangan hidup Anda? Anak Anda? Keluarga dekat Anda?
Keinginan dalam hidup tidak terbatas. Meski kebutuhan terbatas, kita manusia yang memang mencari sebuah kenikmatan kadang baru merasa lebih puas bila mencapai kebutuhan yang sesuai dengan keinginan.
Inilah yang harus disiasati oleh semua orang (produsen atau pemberi jasa) terhadap kita.
Selalu memberi nilai tambah pada setiap produk, itu jurus dari marketing, bukan?
Apakah semua produsen dan pemberi jasa mengharapkan kita untuk berbudaya hidup hemat dan cermat? Ya jelas produknya tidak akan laku bukan?
Akhirnya, pekerjaan rumah terakhir yang memang perlu ditekankan adalah pengertian dan pemahaman terhadap "orang dekat" di sekitar kita atas apa yang disebut wealth style, bukan justru life style.
Merupakan tantangan tersendiri juga, berkomunikasi dengan orang di sekitar bahwa masa hari ini adalah tanggung jawab kita dan masa depan adalah tanggung jawab diri kita juga yang perlu dipersiapkan mulai hari ini.
Karena coba kita tengok, kita lebih suka orang di sekitar kita boros dibandingkan, orang di sekitar kita yang bergaya hidup irit, yang akhirnya kita namakan si pelit.
Benar kan apa yang saya katakan? Semakin jelas bahwa tidak ada 'satupun orang di dunia' berharap kita menjadi kaya raya, selain diri kita sendiri....
Salam investasi untuk Indonesia.
Di tahun 2015 Ryan Filbert menerbitkan 2 judul buku terbarunya berjudul Passive Income Strategy dan Gold Trading Revolution. Ryan Filbert juga sering memberikan edukasi dan seminar baik secara independen maupun bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).