Kejatuhan harga minyak telah membatasi belanja dan kemampuan membayar utang. Demikian hasil studi yang dihelat biro audit dan konsultan Deloitte.
Studi tersebut dilakukan terhadap lebih dari 500 perusahaan produksi dan eksplorasi migas di seluruh dunia.
Deloitte menyoroti beberapa isu yang dihadapi perusahaan minyak, seperti harga minyak mentah yang bertengger di level terendah dalam lebih dari satu dekade, marjin yang menipis, dan tekanan untuk memangkas bujet hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan.
Setidaknya ada 175 perusahaan yang berisiko bangkrut karena terlilit utang lebih dari 150 miliar dollar AS.
Selain itu, nilai penjualan saham dan aset juga menurun sehingga menghalangi kemampuan mereka untuk memperbaiki kas perusahaan.
"Perusahaan-perusahaan ini menunda keputusan penting selama mungkin dan sekarang mereka dalam bahaya dan kini menuju ke kematian. Ini soal likuiditas," kata William Snyder, kepala restrukturisasi global Deloitte.
Akibat kondisi tersebut, para produsen minyak harus memangkas bujet untuk tahun 2016.
Dalam studi itu, Deloitte juga menemukan bahwa perusahaan penyedia layanan tambang minyak, yakni yang menyediakan staf dan peralatan yang diperlukan untuk mengebor sumur minyak cenderung memiliki risiko yang lebih kecil untuk mengalami kebangkrutan ketimbang produsen.
Pasalnya, produsen memiliki biaya modal dan utang yang lebih besar.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.