Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berapa Lama Usia Sebuah "Kegaduhan"?

Kompas.com - 22/02/2016, 05:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Nuh lalu memunculkan kurikulum baru. Seperti layaknya setiap hal baru, tentu saja menimbulkan kebingungan dan tidak bisa segera menghasilkan kesempurnaan.

Bukankah tak ada pesepeda yang langsung mahir mengemudikan kendaraan roda empat di jalan raya? Dan harus kita akui, pemerintah selalu “gagal” memberikan konteks atas kebijakan yang diambilnya.

Tetapi ada satu hal yang menarik, ketika ideologi sudah tak tampak lagi jejaknya, segala langkah perubahan dipandang sebagai ancaman ideologis dan diperangkan seperti coldwar.

Di ujung kalimatnya selalu ditemui kata-kata: telah gagal, salah, mengancam, membunuh, dst. Ditambah lagi, mesin birokrasi kita masih diisi aparatur yang dibesarkan di era orde baru yang terbiasa tenang, tak biasa public speaking.

Terkesan defensif, tegang dan demam panggung kala berhadapan dengan pengamat yang sudah terlatih ber-camera branding.

Jadinya, konteks itu diciptakan oleh banyak pihak yang bingung dan tentu saja, diisi pihak-pihak yang tidak tulus.

Tetapi siapakah yang menabuh genderang yang membuat banyak akademisi hebat menari-nari agresif bersilang pendapat? Jawabnya adalah sebuah kolaborasi.

Dalam kehebohan Kurikulum 2013 terdapat kolaborasi dalam percetakan buku-buku kurikulum lama, yang sudah beredar di berbagai gudang di seluruh penjuru negri.

Kalau saja kurikulum baru dijalankan, maka buku-buku lama akan menjadi sampah, dan gagal meraup keuntungan. Itulah resistance to lose.

Dalam kolaborasi itu terdapat pelaku-pelaku politik, pengambil keputusan strategis, para konsultan pendidikan, pengarang buku, dan tentu saja guru-guru yang takut kehilangan mata ajar yang diasuhnya, ditambah mereka yang sudah enggan belajar lagi tentang hal-hal baru.

Kita saksikan kemudian kurikulum baru direduksi besar-besaran, dari serempak semua kelas dibatasi hanya untuk kelas dan sekolah tertentu saja. Padahal transformasi butuh peran komplementaritas, bukan substitusi.

Sekali lagi, bak sebuah pusaran air, ia bisa menarik orang-orang baik, para profesional/ilmuwan, tersedot dalam arus pusaran itu.

Betapapun benar dan indahnya kebenaran yang disampaikan, kegaduhan itu dipelihara untuk membunuh perubahan sampai ia benar-benar mati, terjadi substitusi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com