Bung Karno dan Ganefo
Ini juga sejarah yang dilupakan. Tak dapat saya bayangkan apa jadinya ibukota hari ini kalau pada tahun 1960-an masyarakat Indonesia sudah mengenal internet, dan hatters sudah menjadi profesi bayaran yang bisa membuat penganggur yang malas menjadi konsultan media.
Mungkin Bung Karno juga tak jadi membangun Gelora Senayan, gedung DPR/MPR (yang dulu disebut Conefo), bendungan Jatiluhur, dan Hotel Indonesia.
Sudah pasti kontraktor-kontraktor asing yang tak kebagian proyek menyewa para hatters untuk memecah belah kesatuan agar kita tak jadi membangun.
Atau, memberi proyek pada mereka, atau agar kita tetap menjadi negara terbelakang yang selalu pergi ke luar negeri mencari hiburan dan bermacet ria di sini, menaiki mobil atau sepeda motor privat buatan mereka di sini.
Kita ketahui bahwa proyek-proyek itu kelak disebut para penentang Bung Karno sebagai mercusuar. Mereka menakut-nakuti banyak orang, persis seperti emak-emak yang melarang anaknya berwirausaha (atau ketika anakanya ingin pergi merantau).
Selalu saja si anak ditakut-takuti agar tak jadi menjalankan niatnya.
“Awas, nanti uangmu habis!”
“Awas nanti kamu rugi, semua disita negara dan bank”
“Awas, nanti kamu tak akan berhasil deh! Kita bukan keturunan pedagang”
“Awas, kamu itu sedang dicurangi.”
“Nanti kamu tersesat."
Sudahlah, terlalu banyak ilusi-ilusi ketakutan yang melebihi kebenaran selalu ditanamkan yang membuat kita tak mendapatkan apa-apa. Kita tak boleh ini dan itu, sebab dalam pandangan sebagian orang hanya "hidup hemat pangkal kaya."
Peribahasa ini menyenangkan negeri tetangga yang hidup dari berdagang dan beriwirausaha sehingga kita terus dipelihara sebagai bangsa konsumtif tanpa persaingan.
Akhirnya harus saya tegaskan, perubahan itu membutuhkan semangat kewirausahaan yang artinya: keberanian membuat terobosan, mengontrol investasi, memitigasi risiko (bukan menghindarinya), dan cara-cara kerja kreatif.