Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyalahi Tri Hita Karana, Masyarakat Bali Tidak Mau Laut Diuruk

Kompas.com - 29/02/2016, 21:15 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Masyarakat adat dari 23 desa yang terdampak reklamasi Teluk Benoa Bali, Senin (29/2/2016) menyampaikan aspirasi di hadapan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

Masyarakat adat berpendapat pembangunan atau modernisasi yang dilakukan pemerintah maupun swasta sah-sah saja asalkan sesuai dengan azas kepatutan adat masyarakat Bali.

“Tidak ada yang menolak modernisasi. Kalau betul adat itu menolak modernisasi, tidak ada (wujud) Bali itu seperti (sekarang) ini,” ungkap Bendesa Adat Kuta, Wayan Suarsa.

Suarsa mengatakan, berpuluh-puluh tahun pembangunan yang dilakukan pemerintah di wilayah tersebut selalu didukung oleh masyarakat adat setempat.

Akan tetapi, begitu ada wacana reklamasi Teluk Benoa, masyarakat adat khususnya yang ada di pesisir menolak.
(Baca : Grup Artha Graha Reklamasi Teluk Benoa, Menteri Susi Belum Bisa Bersikap)

“Kenapa rakyat adat Bali bersikap? Ini ada aspek ketidakpatutan, berdasarkan adat kami. Padahal dalam AMDAL, nyata-nyata pembangunan harus mempertimbangkan sosial budaya,” jelas dia.

Suarsa menuturkan, masyarakat adat Bali mengenal dan meyakini konsep Tri Hita Karana, yang intinya merupakan harmonisasi dengan sang pencipta (parahyangan), harmonisasi dengan sesama umat manusia (pawongan), serta harmonisasi umat manusia dengan lingkungan (palemahan).

Terkait dengan rencana reklamasi Teluk Benoa, masyarakat adat di Bali menilai pihak investor kurang memahami konsep ini.
(Baca : Proyek Reklamasi Teluk Benoa Dinilai Ganggu Kegiatan Spiritual Umat Hindu)

Hal senada disampaikan oleh Bendesa Adat Tanjung Benoa, Made Wijaya.

“Pulau Bali berbeda dari Jakarta. Karena kami sangat menyucikan laut, hubungan manusia degnan lingkungan sangat kental sekali,” ucap Wijaya.

Wijaya berpendapat, apabila investor atau pemerintah berdalih revitalisasi dengan cara reklamasi Teluk Benoa, lebih baik jika sampah-sampah yang menyebabkan pendangkalan itu dihilangkan, dan bukannya malah diuruk dengan material yang didatangkan dari Lombok.

“Konsep Bali ke depan, Bali ini tidak sama dengan Jakarta. Bali ini adalah budaya. Karena laut yang diuruk itu sangat bertentangan dengan hati nurani kami,” kata dia.

Dalam kesempatan itu Wijaya juga mempertanyakan, apakah proyek tersebut merupakan kepentingan negara atau investor semata.

Sebab, apabila reklamasi Teluk Benoa merupakan kepentingan negara, maka masyaraka adat akan lebih membuka diri.

“Kalau negara, kami hormati itu, dan karena kami tahu pasal 33 UUD. Tapi ini, kepentingan investor yang ingin mengkapling laut menjadi daratan,” pungkas Wijaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com