Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Negara Berkembang Tenggelam, Investor Eksodus ke Negara Maju

Kompas.com - 02/03/2016, 10:59 WIB
Aprillia Ika

Penulis

LONDON, KOMPAS.com - Setelah gelembung dotcom dan "credit crunch" global, kini masanya industri di negara berkembang tenggelam, untuk mencari jati diri pasca "booming."

Memang, industri negara berkembang pernah sangat mengejutkan. Sayangnya, kini para ahli pasar negara berkembang pun pergi begitu saja.

Banyak firma yang tumbuh untuk melayani investor seperti di China, Brasil, atau Afrika Selatan, memilih memangkas bisnis dan karyawannya saat ini. Diestimasi, pemangkasan yang akan lebih dalam kedepan.

Apa bukti industri negara berkembang mulai tenggelam? Mungkin bisa dilihat bagaimana investor global seperti Barclays, mulai hengkang dari negara berkembang.

Seperti diketahui, bank asal Inggris ini berencana untuk menarik bisnisnya di Afrika, yang sudah berlangsung lebih dari seabad.

Mereka lebih memilih fokus ke pasar negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS). Pengumuman ini datang pada Selasa waktu setempat.

Kantor Barclays di Afrika sebelumnya bersikeras mengatakan bahwa keputusan penarikan bisnis tersebut tidak memiliki hubungan dengan sentimen ekonomi di benua tersebut.

Barclay juga secara radikal menjual bisnis private wealth di Asia serta memangkas operasional investment banking di semua negara berkembang.

Tidak ayal, perbankan Eropa banyak melakukan PHK. Data kompilasi Reuters menyebutkan, sejak Juni hingga Desember tahun lalu, 10 bank top Eropa sudah merumahkan 130.000 karyawannya.

Jumlah ini akan bertambah jika ditambahkan jumlah PHK pada 2013 dan 2014. Kebanyakan aksi PHK dilakukan di negara berkembang.

Selain Barclays, Standard Charteres juga terganggu kinerjanya di India seiring dengan naiknya kerugian akibat pinjaman.

Bank ini menderita kerugian pertama sejak 1989 dan berencana memangkas 15.000 pekerjaan.

Siklus

John-Paul Smith, pendiri Eclectic Strategy, perusahaan jasa konsultan investasi, mengatakan bahwa banyak perusahaan besar dibangun di negara berkembang, namun kesalahan utama para investor adalah tidak memperhitungkan siklus.

Smith, yang sebelumnya bekerja sebagai manajer investasi di Pictet dan analis saham di Deutsche, menyebutkan bahwa siklus ekuitas negara berkembang berakhir pada Desember 2010.

Dia menyarankan kliennya untuk menjual sahamnya. Beberapa manajer investasi lain bahkan mengira dia bercanda.   

Tapi, sentimen diantara investor di negara berkembang sudah meluas beberapa lama.

Dulu, banyak investor petualang yang lama berkecimpung di negara berkembang, terutama ke negara pengeksor komoditas.

Mereka mencari return yang lebih baik dibanding negara maju dimana suku bunga sangat rendah.

Salah satunya adalah Devan Kaloo, kepala ekuitas negara berkembang di Aberdeen Asset Management.

Pada 2010, dia memegang dana pensiun Eropa. Sebanyak 80 persen asetnya ditaruh di sektor yang menurut investor mainstream terlalu berbahaya, beberapa tahun sebelumnya.

Kaloo menjalankan pendanaan yang sangat sukses dan memberikan return tahunan hingga 20 persen sejak 2003 dengan menekankan pada saham negara berkembang.

Tapi setelah 2010, Kaloo seperti menutup pengelolaan dananya dan tidak memasarkannya, bahkan mengenakan harga khusus untuk investor baru.

"Bahkan perusahaan dengan manajemen baik dan menguntungkan di negara berkembang pun tidak luput dari hukuman," kata Kaloo.

Menurut dia, hanya sedikit pihak yang tahu bahwa "booming" ekuitas negara berkembang sudah mendekati akhir.

Sebelumnya, ekuitas negara berkembang naik hingga 200 persen dari 2011, indeks utama MSCI turun 35 persen dalam lima tahun terakhir.

Pengelolaan dana Kaloo juga tidak bertahan seiring hengkangnya investor akibat masalah di negara berkembang.

Misal, jatuhnya harga minyak di Nigeria hingga Rusia, atau kekacauan politik di Afrika Selatan.

"Investor pun memilih kembali ke negara maju untuk mendapatkan return lebih baik," lanjut dia.  

Dari semua industri, sebanyak 26 miliar dollar AS meninggalkan pendanaan ekuitas negara berkembang tahun lalu, menurut EPFR Global yang berbasis di Boston. Jumlah kecil dari 153 miliar dollar AS yang diterima sejak 1996 hingga saat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com