Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

BI Rate dan Keanehannya

Kompas.com - 18/03/2016, 14:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Di negara berkembang seperti Indonesia, yang jumlah penduduknya selalu bertambah setiap tahun, permintaan biasanya selalu lebih tinggi dari penawaran. Karena itu, wajar saja, Indonesia selalu mengalami inflasi.

Berbeda dengan Jepang yang pertumbuhan penduduknya hampir nol persen serta mayoritasnya  penduduknya berusia tua. Di negara matahari terbit itu, permintaan bisa lebih rendah dari penawaran. Tak heran, Jepang selalu dilanda deflasi.

Jika inflasi dibiarkan terus naik akibat permintaan yang tinggi, maka justru akan merugikan perekonomian.

Kenaikan harga barang yang tidak terkendali akan membuat pertumbuhan ekonomi macet karena akhirnya semua orang tidak bisa membeli barang. Perekonomian akan mengalami hard-landing atau turun secara drastis.

Inflasi yang tidak terkendali juga akan membuat banyak orang jatuh miskin karena nilai kekayaannya tergerus. Orang miskin pun akan semakin menderita.

Karena itulah, inflasi harus dikendalikan agar pertumbuhan tetap melaju dengan stabil dan berkelanjutan.

Jadi intinya, bagi bank sentral, lebih penting menjaga stabilitas. Sebab, stabilitas merupakan fondasi yang kuat bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Kembali ke BI rate.  Mengapa BI Rate turun selama tiga bulan berturut-turut?

Alasan sederhananya, tentu saja karena inflasi Indonesia belakangan ini bergerak di bawah koridor target yakni 4 persen.

Jadi, BI mau tak mau harus menaikkan inflasi agar kembali mengarah ke 4 persen.

Dengan menurunkan BI Rate, maka BI memberi sinyal ke pasar bahwa kenaikan harga barang akan lebih rendah dari sebelumnya.

Dengan demikian, masyarakat akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Akibatnya, permintaan pun naik sehingga inflasi membesar.

Jika, inflasi dirasa sudah mengarah ke koridor yang diinginkan, BI pun akan diam, dalam arti tidak menurunkan atau menaikkan BI rate.

Dalam melihat inflasi, BI sebenarnya lebih berpatokan pada inflasi inti, bukan inflasi umum yang biasa dikenal masyarakat.

Alasannya, inflasi inti mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran yang lebih ajeg dan stabil. Inflasi inti juga lebih mudah dikendalikan dengan cara memengaruhi ekspektasi masyarakat..

Inflasi inti tidak termasuk harga-harga makanan pokok yang cenderung fluktuatif (volatile food) dan harga komoditas yang dikendalikan pemerintah seperti bahan bakar minyak (administered price).

Inflasi umum yang mencakup volatile food dan administered price jelas sulit dikendalikan karena faktornya berada di luar kendali BI. Inflasi umum pun kadang sifatnya sementara sehingga tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Misalnya saat menjelang Lebaran, harga-harga pangan melambung tinggi. Namun setelah Lebaran, harganya akan kembali turun seperti semula.

Tren penurunan inflasi inti Indonesia telah terlihat sejak September 2015. Ini terjadi seiring melemahnya perekonomian global yang kemudian memengaruhi Indonesia.

Sejak itu, inflasi inti terus turun hingga ke level 3,89 persen dalam setahun (year on year/yoy) selama Desember 2015.

Karena itulah, pada 14 Januari 2016, BI menurunkan BI rate 25 bp menjadi 7,25 persen. Tujuannya, untuk menaikkan kembali inflasi ke level 4 persen, yang menjadi target tahun 2016.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com