Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Taksi...!

Kompas.com - 27/03/2016, 08:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Akademisi dan Praktisi Bisnis Rhenald Kasali mengatakan, persaingan antara taksi konvensional dan taksi online atau berbasis aplikasi merupakan pertempuran owning economy versus sharing economy.

Owning economy merupakan bisnis yang digerakkan korporasi. Segala sumber daya dan kapital dimiliki korporasi mulai dari tanah, gedung, pabrik, bahan baku. 

Sementara sharing economy, digerakkan oleh individu-individu yang berbagi sumber daya dan kapital. Pemilik usaha bukan lagi korporasi, melainkan orang per orang.

(Baca : Demo Sopir Taksi dan Fenomena "Sharing Economy")

Pergeseran dari owning economy ke sharing economy sebenarnya telah terjadi sejak awal abad ke-21, seperti ditulis Thomas L Friedman dalam bukunya The World Is Flat (2005).

Menurut Friedman, pergeseran akan semakin kencang dan masif seiring makin datarnya dunia akibat globalisasi dan perkembangan digital.

Saat ini, owning economy dinilai memiliki banyak kelemahan antara lain boros, menganggur, dan tak produktif. Akibat tak lincah bermanuver, korporasi makin tidak efisien. Asetnya banyak yang menganggur alias idle capacity.

Tata kelola keuangan korporasi juga rigid. Semua aset dan investasi dihitung sebagai cost yang kemudian ditransmisikan ke dalam harga yang dijual ke konsumen.

Sementara, tata kelola keuangan sharing economy tidak serigid owning economy. Karena batas antara kepentingan pribadi dan usaha tidak jelas, banyak pos-pos yang sebetulnya merupakan biaya, tidak dianggap cost oleh sharing economy.

Dalam konteks taksi online misalnya, aset yang tidak diperhitungkan sebagai cost antara lain biaya perawatan mobil, biaya penyusutan aset, keamanan, dan sewa tempat.

Karena lepas dari regulasi dan tata kelola perusahaan yang standar, sharing economy biasanya juga terhindar dari kewajiban membayar pajak penghasilan usaha, biaya asuransi, biaya perizinan dan pengecekan berkala dari otoritas.

Dengan kondisi seperti itu, akhirnya banyak komponen biaya yang bisa dipangkas oleh sharing economy. Dampaknya, sharing economy bisa menghasilkan produk yang harganya jauh lebih murah ketimbang owning economy.

Inilah yang membuat mengapa taksi online seperti GrabCar dan Uber bisa mematok tarif taksi hanya Rp 3.000 – 3.500 per km, sementara taksi konvensional seperti Blue Bird dan Express mematok Rp 4.000 per km ditambah biaya buka pintu Rp 7.500.

Dengan perbandingan seperti itu, untuk perjalanan yang identik, tarif taksi online bisa lebih murah 25 – 30 persen ketimbang taksi konvensional. Dengan kata lain, ongkos taksi online rata-rata hanya 75 persen dari ongkos taksi konvensional.

Dengan membedah laporan keuangan Blue Bird misalnya, maka akan terlihat bagaimana komposisi komponen-komponen pembentuk harga.

Berdasarkan hasil bedah laporan keuangan Blue Bird, komponen utama pembentuk harga atau distribusi pendapatan terdiri dari beban langsung, biaya operasional, margin keuntungan, dan pajak penghasilan.

Komposisinya adalah beban langsung sekitar 70 persen, beban usaha sekitar 8,5 persen, margin keuntungan sekitar 15,5 persen, dan pajak penghasilan usaha sekitar 5 persen.

Margin keuntungan merupakan laba yang diterima korporasi atau pemilik korporasi, dalam hal ini PT Blue Bird Tbk.

Besaran margin keuntungan ini hampir sama dengan yang dipatok GrabCar atau Uber. Kedua penyedia jasa aplikasi taksi online itu mengambil 15 – 20 persen dari setiap transaksi.

Dengan demikian, tidak ada perbedaan dalam hal margin keuntungan antara taksi konvensional dan taksi online.

Bagaimana dengan beban usaha? Di sinilah terjadi perbedaan.

Berdasarkan laporan keuangan Blue Bird, beban usaha antara lain terdiri dari gaji dan tunjangan pegawai kantor, sewa dan pemeliharaan pool taksi/kantor, administrasi bank, biaya profesional, biaya akomodasi dan biaya penyusutan aset.

Beban usaha ini merupakan biaya khas korporasi atau owning economy. Ada kantor tempat bekerja, lahan pool untuk tempat penyimpanan taksi, dan tentunya pegawai yang mengurus semua itu.

Komponen ini bisa dikatakan tidak ada dalam sharing economy. Para pengemudi yang juga pemilik mobil tidak membutuhkan kantor dan pegawai untuk mengurus mereka.

Semuanya bisa dikerjakan sendiri. Taksi online juga tidak membutuhkan pool yang investasi atau sewanya mahal. Mobil disimpan di garasi rumah masing-masing sehingga tidak dianggap cost.

Dengan demikian, beban usaha dapat dihilangkan sebagai pembentuk harga oleh taksi online atau sistem sharing economy secara umum.

Kalau begitu, biaya taksi online sudah lebih murah 8,5 persen dari taksi konvensional.

Karena bukan merupakan badan usaha, para pemilik mobil taksi online juga tidak dikenakan pajak penghasilan yang porsinya sekitar 5 persen.

Dengan demikian, dari beban usaha dan pajak, taksi online sudah bisa menurunkan tarif taksi hampir 14 persen.

Blue Bird/M Fajar Marta Kinerja Taksi Reguler Blue Bird

Sekarang kita lihat komponen beban langsung.

Apa saja pos-pos dalam komponen beban langsung? Itu terdiri dari komisi pengemudi, biaya bahan bakar minyak (BBM), biaya perbaikan/pemeliharaan/suku cadang, biaya KIR/perizinan, biaya penyusutan mobil, dan asuransi.

Komisi yang diberikan Blue Bird kepada para pengemudinya rata-rata 30 persen. Jadi, jika dalam satu hari pendapatan pengemudi sebesar Rp 600.000, maka pengemudi  bersangkutan mendapatkan komisi sebesar Rp 180.000.

Porsi biaya BBM rata-rata 21 persen, porsi biaya penyusutan 13 persen, porsi KIR/perizinan 1,4 persen, porsi perbaikan/pemeliharaan/suku cadang 3,8 persen, dan asuransi 0,2 persen.

Total porsi beban langsung terhadap harga sekitar 70 persen.

Biaya BBM antara taksi konvensional dan taksi online tentu sama.

Lalu di mana perbedaannya?

Taksi online umumnya tidak memperhitungkan biaya penyusutan mobil. Para pemilik mobil menganggap urusan jual beli mobil dan keuntungan atau kerugian yang timbul dari transaksi jual beli mobil merupakan ranah pribadi yang tidak berkaitan dengan usahanya.

Taksi online juga tidak perlu mengeluarkan biaya KIR dan perizinan karena tidak masuk dalam kategori angkutan umum.

Dengan demikian, beban biaya penyusutan dan biaya KIR sebesar total 14,4 persen dapat dihilangkan.

Ini pun dengan mengasumsikan, taksi online memperhitungkan biaya perbaikan/suku cadang dan asuransi. Padahal faktanya, banyak juga pemilik mobil yang menganggap biaya-biaya tersebut sebagai pengeluaran pribadi sehingga tidak diperhitungkan sebagai cost.

Jadi, jika ditotal dari pemangkasan beban usaha, biaya langsung, dan pajak, tarif taksi online bisa diturunkan hingga 30 persen.

Faktanya, tarif taksi online memang lebih murah 25 – 30 persen dibandingkan tarif taksi konvensional.

Bagaimana pendapatan masing-masing pengemudi? Ternyata, pendapatan nominal yang diterima pengemudi taksi online maupun taksi konvensional sebenarnya tidak berbeda jauh.

Porsinya terhadap total pendapatan memang berbeda. Pengemudi taksi online menerima 50 – 60 persen dari total pendapatan taksi online, sementara pengemudi taksi konvensional menerima 30 persen dari total pendapatan taksi konvensional.

Namun, karena tarif taksi online lebih murah 30 persen, maka secara nominal pendapatan keduanya tidak jauh berbeda.

Ghulam/Otomania Fasilitas servis berkala di bengkel Blue Bird yang sudah standar bengkel resmi.

Tetap untung meskipun melambat

Banyak pihak memperkirakan, pendapatan taksi konvensional akan tergerus tajam oleh keberadaan taksi online.

Faktor ini pula yang menjadi alasan sopir taksi konvensional ramai-ramai menggelar unjuk rasa menolak GrabCar dan Uber pada Selasa (22/3/2016) yang berujung pada aksi vandalisme dan bentrok sesama sopir.

Padahal, jika dilihat, pendapatan perusahaan taksi konvensional pada 2015 masih tumbuh meskipun melambat.

Melambatnya pertumbuhan itu pun lebih disebabkan oleh lesunya perekonomian yang juga melanda seluruh sektor industri di Tanah Air.

Blue Bird misalnya, pada triwulan III 2015 meraup pendapatan sebesar Rp 4,03 triliun, meningkat  17,22 persen dibandingkan periode sama tahun 2014 yang sebesar Rp 3,44 triliun.

Sementara, laba bersih triwulan III 2015 tercatat Rp 629,16 miliar, naik 16,37 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 540,64 miliar.

(Baca : Tingkatkan Pendapatan, Blue Bird Tambah Wilayah Operasional)

Namun memang, pertumbuhan pendapatan tersebut lebih didorong oleh penambahan armada taksi.

Artinya, dilihat dari keuangan perusahaan, pendapatan taksi konvensional meningkat. Namun, dilihat dari nominal komisi yang diterima pengemudi, belum tentu ada peningkatan.

Upah yang diterima sopir taksi konvensional bisa jadi stagnan selama 2015 sementara biaya hidup terus meningkat akibat inflasi. Dampaknya kualitas hidup dan daya beli keluarga sopir taksi konvensional menurun.

Jadi, susahnya sopir taksi konvensional bukan hanya disebabkan oleh munculnya kompetitor taksi online, tetapi lebih karena kompetitor internal mengingat jumlah taksi Blue Bird yang semakin banyak.

Lagipula, dari segi pangsa pasar, kue yang dinikmati taksi online masih terlampau kecil dibandingkan taksi konvensional.

Seharusnya, di masa ekonomi lesu seperti saat ini, perusahaan taksi konvensional tidak terus menambah jumlah armadanya. Dengan demikian, sopir-sopir bisa mendapatkan penumpang lebih banyak atau sekurangnya sama dengan tahun-tahun sebelumnya.

Berbagai kemungkinan

Menyusul demo dan kisruh taksi konvensional menolak taksi online pekan lalu, pemerintah kini mewajibkan taksi online memiliki izin sebagai angkutan umum.

Para pemilik mobil taksi online juga diharuskan membentuk wadah yakni koperasi, yang akan mengelola operasional taksi online.

Dengan demikian, taksi online diarahkan untuk memiliki struktur yang mirip dengan taksi konvensional.

Sharing economy versus owning economy yang sebelumnya terjadi, akan berubah menjadi koperasi versus korporasi.

Biaya-biaya yang dulu bisa dipangkas oleh taksi online seperti biaya kantor, gaji pengelola kantor, pajak penghasilan, biaya KIR, asuransi, sewa/beli lahan pool, nantinya akan bermunculan.

Dampaknya, tarif taksi akan naik dan tidak lagi semurah sekarang.Kalaupun ada perbedaan tarif, angkanya tidak lagi signifikan.

Lalu, apa yang akan terjadi?

Ya tentu akan terjadi persaingan yang ketat sebab sharing economy sudah dihilangkan menjadi koperasi.

Apalagi, perusahaan taksi konvesional juga akan berbenah dari sisi kemudahan dan kenyamanan pemesanan melalui aplikasi. Mungkin pula, mereka akan menghapus sistem argo dan menggantinya dengan tarif pasti di depan seperti taksi online.

Bisa juga, perusahaan taksi konvensional menjual taksi-taksinya kepada para pengemudi mereka sehingga tidak dibutuhkan lagi lahan untuk pool.

Intinya, jurang perbedaan antara taksi konvensional dan taksi online yang sangat besar saat ini, ke depan, akan mengecil sehingga tidak ada lagi dikotomi taksi konvensional dan taksi online.

Sharing economy mungkin dapat dimatikan saat ini, namun percayalah, dia akan selalu bergerilya mengganggu kemapanan korporasi (owning economy).

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Ada Gejolak Global, Erick Thohir Telepon Direksi BUMN, Minta Susun Strategi

Ada Gejolak Global, Erick Thohir Telepon Direksi BUMN, Minta Susun Strategi

Whats New
Inflasi Medis Kerek Harga Premi Asuransi Kesehatan hingga 20 Persen

Inflasi Medis Kerek Harga Premi Asuransi Kesehatan hingga 20 Persen

Whats New
Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Anggaran Belanja di Tengah Konflik Iran-Israel

Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Anggaran Belanja di Tengah Konflik Iran-Israel

Whats New
Ekspor Batik Aromaterapi Tingkatkan Kesejahteraan Perajin Perempuan Madura

Ekspor Batik Aromaterapi Tingkatkan Kesejahteraan Perajin Perempuan Madura

Whats New
Hadiri Halalbihalal Kementan, Mentan Amran: Kami Cinta Pertanian Indonesia

Hadiri Halalbihalal Kementan, Mentan Amran: Kami Cinta Pertanian Indonesia

Whats New
Pasar Modal adalah Apa? Ini Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya

Pasar Modal adalah Apa? Ini Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya

Work Smart
Syarat Gadai BPKB Motor di Pegadaian Beserta Prosedurnya, Bisa Online

Syarat Gadai BPKB Motor di Pegadaian Beserta Prosedurnya, Bisa Online

Earn Smart
Erick Thohir Safari ke Qatar, Cari Investor Potensial untuk BSI

Erick Thohir Safari ke Qatar, Cari Investor Potensial untuk BSI

Whats New
Langkah Bijak Menghadapi Halving Bitcoin

Langkah Bijak Menghadapi Halving Bitcoin

Earn Smart
Cara Meminjam Dana KUR Pegadaian, Syarat, dan Bunganya

Cara Meminjam Dana KUR Pegadaian, Syarat, dan Bunganya

Earn Smart
Ada Konflik Iran-Israel, Penjualan Asuransi Bisa Terganggu

Ada Konflik Iran-Israel, Penjualan Asuransi Bisa Terganggu

Whats New
Masih Dibuka, Simak Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66

Masih Dibuka, Simak Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66

Work Smart
Tingkatkan Daya Saing, Kementan Lepas Ekspor Komoditas Perkebunan ke Pasar Asia dan Eropa

Tingkatkan Daya Saing, Kementan Lepas Ekspor Komoditas Perkebunan ke Pasar Asia dan Eropa

Whats New
IHSG Turun 2,74 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Saham Rp 11.718 Triliun

IHSG Turun 2,74 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Saham Rp 11.718 Triliun

Whats New
Pelita Air Catat Ketepatan Waktu Terbang 95 Persen pada Periode Libur Lebaran

Pelita Air Catat Ketepatan Waktu Terbang 95 Persen pada Periode Libur Lebaran

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com