Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisnis Aplikasi Tumbuh Pesat

Kompas.com - 28/03/2016, 17:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Di negara yang memiliki banyak masalah, aplikasi akan bertumbuh pesat. Anak-anak muda bergairah untuk membuat sarana penyelesaian masalah itu dengan menggunakan teknologi digital. Akan tetapi, potensi masalah juga akan bermunculan.

Kasus protes pengemudi taksi konvensional terhadap taksi yang berbasis aplikasi pekan lalu hanyalah satu kasus di antara puluhan, bahkan ratusan, potensi masalah.

Kasus yang terkait dengan pertumbuhan industri aplikasi bisa terjadi antara lain pada bisnis asuransi, perbankan, perhotelan, jasa rumah tangga, tiket, dan ruang pemasaran. Model bisnis lama akan tergerus hingga beberapa di antaranya meredup.

Beberapa kalangan yang ditemui dan dihubungi Kompas sejak pekan lalu hingga Minggu (27/3) mengatakan, ekonomi berbagi (sharing economy) tak bisa dibendung lagi. Model bisnis ini terus berkembang dan makin banyak diadopsi.

Ekonomi berbagi ini merupakan pasar hibrida yang memungkinkan akses terhadap sumber daya yang dimiliki perseorangan atau kelompok untuk dipakai bersama dengan orang lain.

Pasar ini sangat berkembang difasilitasi teknologi digital yang memungkinkan lalu lintas informasi tersebar lebih cepat dan lebih luas.

Guru Besar Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengatakan, ekonomi berbagi tak bisa dielakkan lagi karena membuat aktivitas makin efisien. Untuk itu, pemerintah harus memfasilitasi perubahan ini.

Dalam kasus Uber dan Grab, kendaraan pribadi yang selama ini tidak terpakai bisa dimanfaatkan untuk mengangkut orang lain.

Kendaraan ini memberikan penghasilan kepada beberapa orang, seperti sopir dan pemilik mobil, dan memberikan manfaat bagi pelanggannya karena bisa diantar ke tempat tujuan dengan harga yang lebih murah.

CEO Go-Jek Nadiem Makarim menyampaikan, Go-Jek pertama kali dikembangkan berangkat dari masalah kemacetan lalu lintas di perkotaan. Go-Jek diharapkan bisa menjadi solusi terhadap masalah itu.

”Ketika itu pemikirannya, bagaimana masyarakat bisa mendapatkan layanan yang mudah, aman, nyaman, dan tepercaya dengan tarif jelas. Sementara mitra bisa menjadi lebih mudah dalam mendapatkan pelanggan dan meningkatkan penghasilan,” ujar Nadiem.

”Pertama kali Grab dikembangkan pada tahun 2012 berangkat dari persoalan buruknya layanan taksi di Malaysia. Pengemudi taksi, misalnya, jarang menggunakan argometer, penumpang diajak berkeliling melampaui tujuan, dan ada pula kesulitan memesan layanan,” kata Country Head of Marketing Grab di Indonesia Kiki Rizki.

Ketua Umum Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama, mitra Uber di Indonesa, Agung Eko Ismawanto, menyebutkan, awalnya Uber masuk ke Jakarta dengan menggandeng tiga jenis kemitraan, yakni perseroan terbatas, CV, dan pemilik mobil individu. Akan tetapi, ketika berupaya menggandeng perseroan, upaya Uber itu malah ditolak pemilik perusahaan.

”Akhirnya malah berkembang pesat dengan kemitraan pemilik mobil individual. Kini sudah sekitar 8.000 pengemudi yang bergabung di Uber. Pada Maret 2015, kami para pemilik mobil personal memperoleh akta pendirian koperasi sehingga berbadan hukum,” ujar Agung.

Sebagai koperasi, mereka juga telah mengetahui kewajiban membayar pajak final sebesar 1 persen. Sejak Agustus 2015, kata Agung, koperasi mulai mengurus dokumen yang diwajibkan sebagai angkutan nontrayek berbentuk sewa, yaitu surat tanda nomor kendaraan, buku uji, dan kartu pengawasan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com