Misalnya, kalau partisipan paruh waktu dalam sharing economy ini diwajibkan mengurus balik nama Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) ke dalam nama badan usaha (koperasi).
Semua orang tahu Bea Balik Nama kendaraan di sini mahal dan berisiko. Tidak sesuai dengan pendapatan paruh waktu.
Anda mungkin masih ingat kasus yang menimpa para mitra sebuah perusahaan travel yang tiba-tiba tumbuh pesat berkat usaha kemitraan.
Saat itu para mitra (pemilik kendaraan) patuh pada aturan dan melakukan balik nama STNK. Beberapa waktu kemudian perusahaan go public dan aset mereka dinyatakan sebagai aset korporasi yang sahamnya dimiliki publik tanpa sepengetahuan mereka. Lalu ketika perusahaan pailit mereka pun kebingungan.
Kerumitan ini bisa saja dipandang sebagai upaya pengekangan suplai yang merugikan konsumen, menimbulkan inefisiensi, namun juga bisa berarti rezeki bagi taksi konvensional. Dan akhirnya membuat masyarakat tidak happy. Saya percaya pemerintah yang bijak pasti punya solusinya.
Mengapa Konvensional Kalah
Sistem dan metode yang dibangun sebagian pelaku taksi berbasiskan teknologi ini berbeda.
Taksi konvensional yang sudah lama kita kenal hanya berbasiskan adu cepat menerima pesanan dengan perkiraan jarak. Padahal di kota-kota besar, pada jam tertentu jarak 1 kilometer bisa saja ditempuh satu jam, sementara yang 10 kilometer bisa ditempuh hanya 7 menit.
Jadi pada situasi tertentu, pesanan bisa amat terlambat tiba karena sistem pergerakan supply tidak optimal.
Karena itulah, mereka yang mengembangkan teknologi pergerakan suplai menjadi lebih unggul dan lebih mampu memberi kesejahteraan. Utilisasi membaik, lebih efisien. Tinggal periksa misi perusahaan, kemana penghematan itu akan diberikan, apakah kepada pemegang saham agar terjadi capital gain, atau pengemudi/mitra usaha.
Smart Government
Dari semua uraian di atas, jelas Indonesia butuh solusi komprehensif kekinian dengan e-gov dan proses yang jelas dan adil.
Sebenarnya yang dibutuhkan para pelaku usaha di kedua belah pihak, adalah sebuah sistem pemerintahan yang smart. Model smart government inilah yang menjadikan tingkat kepuasan, kesejahteraan dan happiness masyarakat meningkat (ketika supply bertemu demand), partisipasi ekonomi lebih produktif, sementara biaya perizinan turun dan waktu prosesnya lebih singkat.
Open platform, digital sharing data dari dari operator yang secara sukarela menggunakan aplikasi digital bahkan dapat digunakan negara untuk membuat rencana pengembangan sarana lalu lintas.
Akhirnya pemerintahan menjadi efisien dan agile (tangkas), yang menjamin kepastian berusaha dan mampu menciptakan kesejahteraan yang baik bagi para pekerja dan pelaku usaha.
Untuk mencapai pemerintahan yang demikian, dibutuhkan aturan yang tak berbelit-belit, pengurusan yang cepat dan responsif.
Taksi konvensional sudah pasti harus dan akan berubah, sebab tanpa teknologi mereka akan terimbas gelombang disruption dan bisnisnya menjadi kurang relevan.
Di era baru ini, semua itu adalah subject to reform untuk memberi kesempatan partisipasi ekonomi bagi rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.