Namun, karena PPATK makin gencar mendalami transaksi tunai, mereka mengubah pola.
Jadi uang tidak langsung masuk ke rekening penyelenggara negara, namun diputar terlebih dahulu melalui korporasi agar seolah-olah itu keuntungan dari perusahaan.
Dampaknya, pada 2014, transaksi tunai yang langsung ke rekening penyelenggara turun menjadi Rp 1.792 triliun, sementara yang melalui korporasi naik menjadi Rp 2.859 triliun.
Ini artinya, sekarang banyak oknum kepala daerah dan pejabat yang menggunakan konsultan profesional, biro hukum, akuntan publik, notaris, korporasi atau vehicle lainnya untuk mengaburkan harta kekayaannya.
Dalam beberapa kasus, korporasinya sengaja didirikan hanya untuk menampung dana ilegal.
Sebab, ketika dilihat transaksi perusahaan bersangkutan, tidak ada transaksi jual beli atau transaksi lainnya yang normal dilakukan oleh sebuah perusahaan.
Belakangan ini, menurut Yusuf, profesi-profesi seperti penasihat hukum, notaris, dan akuntan publik kerap disalahgunakan sebagai sarana untuk korupsi dan pencucian uang yang dilakukan elit-elit politik baik di eksekutif maupun legislatif.
Profesi-profesi tersebut juga banyak dipakai untuk menyembunyikan kekayaan para kliennya.
Terdapat sejumlah faktor yang membuat profesi-profesi itu rawan disalahgunakan antara lain karena mereka memiliki hak kerahasiaan sehingga dapat berkelit dari berbagai aturan pengungkapan informasi.
Praktik itu serupa dengan yang dilakukan dalam skandal Panama Papers. Mossack Fonseca adalah firma hukum, bukan perusahaan investasi.
PPATK juga menyebutkan, ada ribuan wajib pajak baik pribadi maupun perusahaan yang mengemplang pajak.
Andaikan mereka seluruhnya patuh membayar pajak, maka penerimaan pajak Indonesia bisa mencapai Rp 6.000 triliun, jauh lebih besar dari saat ini yang hanya Rp 1.360 triliun.
Keempat, data PPATK tentang Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)
Data PPATK menunjukkan jumlah LTKM semakin meningkat setiap tahunnya.
Selama tahun 2015, jumlah LTKM mencapai 56.634 laporan, naik dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 39.688 laporan.
Transaksi dianggap mencurigakan jika nilainya tidak sesuai dengan profil pendapatan orang yang melakukan transaksi.
Misalnya, seseorang gajinya 15 juta per bulan. Namun, transaksinya sekali bisa mencapai Rp 100 juta.
Maka ini bisa diindikasikan transaksi mencurigakan karena tidak sesuai dengan profilnya.
Atau orang yang biasa digaji dalam bentuk rupiah, tiba-tiba banyak melakukan transaksi dalam dollar AS.
Kelima, Kementerian Keuangan menyebut ada 2.000 PMA yang tidak bayar pajak
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan ada 2.000 perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang tidak bayar pajak dengan alasan merugi.
Padahal, menurut pemeriksaan pajak, setiap perusahaan seharusnya membayar pajak
rata-rata Rp 25 miliar per tahun.
Bambang juga mengatakan, sedikitnya 6.000 WNI memiliki rekening bank di satu negara dan ada 2.000 perusahaan tunggangan (SPV) yang berkaitan dengan mereka.
Dana yang tersimpan itu hingga kini belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak.
Jika 2.000 perusahaan PMA itu terbukti melakukan penghindaran pajak dengan sengaja, perusahaan akan dikenai sanksi pajak.
Keenam, kebocoran pajak
Ekonom senior Dradjad Wibowo, mengungkapkan, kebocoran pajak bisa mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun, yang sebagian besar akibat korupsi.
Nilai kebocoran tersebut bisa dihitung dari potensi penerimaan pajak dibandingkan dengan realisasi pajak yang diterima negara setiap tahun.
Menurut Dradjad, jika mengacu pada negara-negara tetangga yang kondisi ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, negeri ini seharusnya bisa mencapai angka tax ratio atau penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) sebesar 20 persen.
Nyatanya,tax ratio Indonesia hanya sekitar 12 persen dalam dekade terakhir. Artinya, ada potensi penerimaan pajak yang tidak disetorkan kepada negara.
Dalam lima tahun terakhir, kebocoran pajak rata-rata mencapai 40 persen.
Ketujuh, jika pengampunan pajak (tax amnesty) diberlakukan, maka akan ada dana yang masuk ke Indonesia sebesar Rp 70 – 100 triliun.
Para pengusul RUU Pengampunan Nasional melihat ada potensi pendapatan yang dapat menutupi kekurangan penerimaan negara.
Potensi itu adalah uang warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri yang menurut survei mencapai Rp 3.000 triliun-Rp 4.000 triliun.
Ditambah lagi dengan “uang bantal”, yakni uang yang disimpan di rumah warga di dalam negeri, yang besarnya antara Rp 2.000 triliun-Rp 3.000 triliun.
Simpanan itulah yang perlu direpatriasi, dikembalikan ke dalam negeri.
Agar para pemilik simpanan mau membawa pulang uangnya, negara dianggap perlu memberikan kompensasi berupa pengampunan dari berbagai ancaman sanksi dan hukuman.
Syaratnya, cukup mengajukan permohonan pengampunan dan membayar tebusan.
Kedelapan, kebocoran anggaran belanja negara
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.