Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/04/2016, 18:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Incremental Capital Output Ratio (ICOR) adalah angka yang menunjukkan besarnya penambahan investasi untuk menghasilkan tambahan output.

Rasio ini digunakan untuk menghitung seberapa efisien pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika angka ICOR tinggi, maka pembangunan tidak efisien, salah satunya akibat kebocoran anggaran.

Rata-rata negara yang selevel dengan Indonesia memiliki angka ICOR 4, yang berarti dibutuhkan 4 unit modal untuk menghasilkan 1 unit output. Dengan demikian, ICOR Indonesia seharusnya juga 4.

Namun, Indonesia memiliki angka ICOR sebesar 5,3. Selisih angka 5,3 dan 4 menunjukkan adanya kebocoran anggaran pembangunan, kurang lebih sekitar 30 persen.

Jadi, dari alokasi anggaran untuk proyek-proyek pembangunan yang tercatat dalam APBN, sebenarnya hanya 70 persen yang dipakai. Adapun yang 30 persen hilang atau bocor.

Kesembilan, uang yang diselamatkan jauh lebih kecil dari yang dikorupsi

Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara dari kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014 mencapai Rp 5,29 triliun.

Namun, total penerimaan negara dari uang sitaan dan uang pengganti kasus korupsi hanya Rp 590 miliar. Ini berarti tingkat pemulihan aset negara yang dikorupsi hanya 11 persen.

Dalam penelitiannya berjudul "Do Corruption Pay? If So whom Benefited the Most" yang dimuat dalam laman Social Science Research Network, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM Rimawan Pradiptyo membandingkan antara nilai korupsi dari kasus-kasus yang telah diputus Mahkamah Agung dan hukuman finansialnya berupa denda serta uang pengganti.

Ia menyebutkan, nilai kerugian negara dari 1.365 kasus korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkraach sepanjang 2001 - 2012 mencapai Rp 168,19 triliun.

Namun, uang yang berpotensi kembali ke negara hanya Rp 15,09 triliun atau hanya 8,97 persen.

Menurut Rimawan, jika nilai korupsi sebesar Rp 168,19 triliun hukuman finansialnya hanya Rp 15,09 triliun, maka ada Rp 153,1 triliun yang sudah pasti tidak dikembalikan oleh para koruptor.

Dengan kata lain, para pembayar pajak di Indonesia telah mensubsidi para koruptor.

 

Kesepuluh, kasus korupsi tidak pernah berkurang

Jumlah perkara korupsi yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian meningkat dari 1.257 kasus pada 2011 jadi 2.270 kasus pada 2014, atau naik 80,6 persen dalam tiga tahun.

Sementara KPK, sepanjang 2015, menyidik perkara korupsi sebanyak 57 kasus, lebih banyak dibandingkan tahun 2014 yang sejumlah 56 kasus.

Kesebelas, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Berdasarkan ikhtisar hasil pemeriksaan tahun 2015 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada 4.609 kasus berpotensi merugikan negara Rp 21,62 triliun

Keduabelas, Indonesia dianggap surga pencucian uang

Indonesia masih menjadi surga bagi tindak pidana pencucian uang.

Berdasarkan Anti-Money Laundering Basel Index 2015 yang dirilis Basel Institute on Governance, Indonesia menduduki peringkat ke-59 dari 152 negara dengan skor 6,23 pada skala 0-10 (risiko TPPU rendah-risiko tinggi).

Skor Indonesia hanya terpaut dua angka dari negara-negara dengan risiko tindak pidana pencucian uang (TPPU) tertinggi, seperti Iran, Afganistan, Korea Utara, Suriah, Sudan, dan Myanmar.

P2EB FEB UGM Peta Korupsi Indonesia

Korupsi politik

Maraknya korupsi, penggelapan pajak dan pencucian uang terjadi karena korupsi di Indonesia bersifat political korupsi.

Arnold J Heidenheimer dalam bukunya "Political Corruption" menggambarkan korupsi politik sebagai korupsi yang dilakukan aktor-aktor politik di eksekutif maupun legislatif dengan menggunakan kekuasannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok politiknya.

Di Indonesia, korupsi politik berkaitan dengan patronase democracy, yakni hubungan antara orang yang memegang jabatan politik dengan orang yang memiliki kekayaan dan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis memberikan dana kepada pejabat publik agar menggunakan wewenang dan pengaruhnya untuk menguntungkan pelaku bisnis.

Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, korupsi politik menjadi sumber dari segala korupsi. Dari korupsi politik, muncul turunan-turunan korupsi yang dilakukan pegawai negeri sipil dan aparat birokrasi dengan modus pemberian uang pelicin.

Ade Irawan dari ICW mengatakan, episentrum korupsi di Indonesia adalah korupsi politik yang dilakukan oligarki kekuasaan.

Inilah yang menyebabkan korupsi begitu sulit diberantas meskipun KPK tak henti-hentinya menangkap dan memenjarakan koruptor.

Dalam kurun 2004-2015, KPK memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/wali kota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I, II, dan III.

Tokoh-tokoh politik susul menyusul masuk bui. Sebut saja Emir Moeis, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Ratu Atut, M Nazaruddin, Akil Mochtar, Sutan Bhatoegana, Jero Wacik, Suryadharma Ali.

Namun, politisi dan para elit tak juga kapok.

Dewie Yasin Limpo, Damayanti Wisnu Putranti, dan terakhir Mohamad Sanusi seolah menapaktilasi jejak para koruptor.

Sepanjang pekan ini, skandal Panama Papers mengguncang dunia.

Apakah Indonesia juga terguncang? Tentu saja tidak.

Sebab, semua orang sudah tahu : korupsi , penggelapan pajak, dan pencucian uang sudah sangat massif di negeri ini.

 

Kompas TV Apa itu Panama Papers?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com