Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/04/2016, 18:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam pertandingan leg pertama perempatfinal Liga Champion Rabu (6/4/2016) dini hari WIB, tuan rumah Barcelona mengungguli tamunya Atletico Madrid 2 – 1.

Seluruh gol Blaugrana diborong Luiz Suarez, sementara gol tim besutan Diego Simeone disumbangkan Fernando Torres.

Suarez, bomber asal Uruguay menjadi bintang kemenangan Barca.

Mantan pemain Liverpool itu lebih bersinar ketimbang dua rekannya dalam trisula maut MSN, Neymar dan Messi.

Neymar, kapten timnas Brasil, beberapa kali melakukan tembakan ke gawang Atletico, salah satunya mengenai tiang gawang yang dikawal Jan Oblak.

Sementara Messi, yang bermain agak ke tengah, lebih sedikit menciptakan peluang dibanding dua rekannya itu.

Pendek kata, Messi gagal bersinar malam itu.

Entah terpengaruh atau tidak, yang pasti, dua hari sebelum pertandingan itu, Messi diterpa isu tak sedap.

Namanya masuk dalam daftar yang terkait dengan skandal keuangan “Panama Papers”, yakni jutaan dokumen milik firma hukum Mossack Fonseca yang bocor ke publik.

Dokumen yang bocor itu mengungkapkan aset dan kekayaan baik milik pribadi maupun perusahaan yang disembunyikan dalam yurisdiksi bebas pajak.

Sebagian praktik itu ditengarai terkait dengan upaya pencucian uang, penggelapan pajak, dan penyamaran uang hasil tindak pidana seperti korupsi.

Sejumlah nama tokoh Indonesia disebut-sebut juga masuk dalam daftar Panama Papers.

Andaikan memang ada nama-nama dari Indonesia yang terindikasi melakukan penggelapan pajak dan pencucian uang melalui Mossack Fonseca, itu dipastikan hanya bagian kecil dari praktik korupsi dan pencucian uang di Indonesia.

Praktik korupsi, pencucian uang, dan penggelapan pajak di Indonesia tentu jauh lebih dahsyat dari yang diungkap Panama Papers terkait orang-orang dari Indonesia yang terindikasi melakukan perbuatan kotor.

Di Indonesia, setiap tahun, ratusan triliun rupiah hasil korupsi dan penggelapan pajak berupaya untuk disembunyikan, disamarkan, dan dicuci, baik di dalam maupun luar negeri.

Mari kita lihat sejumlah fakta dan data yang menunjukkan begitu massifnya praktik korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian uang di Indonesia.

Pertama,  dana illegal (illicit money) yang keluar dari Indonesia

Berdasarkan hasil riset Perkumpulan Prakarsa, yang dipaparkan beberapa waktu lalu, selama kurun waktu 2010-2014, akumulasi aliran dana gelap dari Indonesia ke luar negeri mencapai Rp 914 triliun.

Jumlah tersebut setara dengan 45 persen pertambahan jumlah uang beredar dalam periode yang sama di Tanah Air yang jumlahnya Rp 2.032 triliun.

Sementara, laporan Global Financial Integrity menyebutkan, dalam kurun 2004 – 2013, dana illegal yang keluar dari indonesia mencapai 180,71 miliar dollar AS atau setara Rp 2.100 triliun.

Untuk urusan ini, Indonesia  merupakan negara terbesar kesembilan di dunia.  Indonesia hanya kalah dari China, Rusia, Meksiko, Malaysia, India, Brasil, Afrika Selatan, dan Thailand.

Global Financial Integrity/M Fajar Marta Dana illegal yang keluar dari negara-negara berkembang (dalam juta dollar AS)

Kedua, indeks persepsi korupsi Indonesia

Laporan Corruption Perception Index (CPI) 2015 yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia di posisi 88 dari 168 negara dengan skor 36 dari skala 100.

Meskipun membaik dari skor 34 pada tahun 2014 menjadi 36 pada tahun 2015, skor Indonesia masih di bawah rata-rata dunia yang sebesar 43, bahkan di bawah skor rata-rata negara Asean yang sebesar 39.

Kondisi tersebut menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia relatif  lebih besar dibandingkan negara-negara lain pada umumnya.

Masih tingginya korupsi di Indonesia juga tergambar dari Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan Transparency International Indonesia.

Survei itu menunjukkan 4 dari 10 masyarakat Indonesia membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik.

Selain itu 36 persen masyarakat membayar suap untuk mengakses 8 jenis layanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, listrik dan air, pajak, tanah, kepolisian, dan hukum.

Survei juga menunjukkan kepolisian,  parlemen, pengadilan, dan partai politik sebagai lembaga terkorup di Indonesia.

Ketiga, data PPATK mengenai potensi korupsi, penggelapan pajak, dan pencucian  uang di Indonesia.

Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan transaksi keuangan tunai di atas Rp 500 juta yang dilaporkan ke PPATK selama 11 tahun terakhir, total nilainya mencapai Rp 2 juta triliun oleh korporasi dan Rp 92.000 triliun oleh perorangan.

Transaksi itu dilakukan oleh 163.603 perusahaan dan 599.940 orang.

Menurut Kepala PPATK M Yusuf, transaksi tunai dalam jumlah besar, di atas Rp 500 juta, merupakan hal yang tidak lazim, kecuali pelakunya memang memiliki motif tertentu seperti ingin  mengaburkan asal usul uang.

Selain merepotkan, transaksi macam itu akan rentan dirampok atau rentan uang palsu.

Transaksi dalam jumlah besar, lazimnya pakai transfer.

Karena itu, transaksi tunai dalam jumlah besar selalu mengindikasikan 3 hal yakni praktik suap, gratifikasi, dan pemerasan.

Tidak mungkin orang yang akan melakukan 3 hal itu menggunakan transfer, sebab akan mudah terdeteksi aliran dananya.

Juga tidak lazim, perusahaan pakai transaksi tunai sebab itu tidak sesuai tata kelola yang benar, kecuali perusahaan itu memang sengaja dipakai untuk menyembunyikan hasil korupsi.

Data PPATK juga menyebutkan, tahun 2012, nilai transaksi tunai di atas Rp 500 juta yang langsung melalui rekening penyelenggara negara mencapai Rp 8.270 triliun, sementara yang melalui perusahaan hanya Rp 131 triliun.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com