Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nelayan Menjerit Kekurangan Bahan Baku Pengolahan Ikan, Ini "Jalan Keluar" dari KKP

Kompas.com - 08/04/2016, 07:00 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akhirnya merespons jeritan nelayan yang mengeluhkan saat ini terjadi kekurangan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, paska moratorium perizinan kapal eks asing dan larangan transhipment.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Narmoko Prasmadji mengakui, persoalan kurangnya bahan baku untuk industri pengolahan ikan ini muncul lantaran belum adanya pipa logistik dari kapal penangkap ikan ke pusat-pusat pengolahan ikan.

"Saat ini ada kapal Indonesia, berbendera Indonesia, awak Indonesia yang nantinya ini bisa kita operasikan sebagai pipa logistik yang akan memenuhi kebutuhan bahan baku di beberapa tempat di Indonesia," ungkap Narmoko, Jakarta, Kamis (7/4/2016).

Narmoko menambahkan, nantinya hanya kapal yang tidak memiliki masalah hukum yang bisa menjadi 'supporting fishing vessel' ini.

Adapun kriteria lain adalah kapal ini memiliki ukuran yang benar sesuai gross akta, dan teregistrasi.

Selain itu, dalam operasinya kapal ini harus merapat ke pelabuhan yang ditentukan, memiliki observer, dan enumerator, serta memasang alat pemantauan.

"Dan nanti untuk pengawasannya kita akan membuat pakta integritas di antara pelaku usaha pengangkutan, pemilik kapal penangkapan ikan, sampai Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang bersangkutan," terang Narmoko.

Menurut Narmoko, manajemen seperti ini baru kali pertama ini terjadi di dunia Perikanan Tangkap di Indonesia.

Dia bilang, sebelumnya, KKP beranggapan bahwa Perikanan Tangkap bisa berjalan sesuai dengan mekanisme pasar, apa adanya.

"Tapi sekarang setelah seluruh produk harus treaseable (ketelusuran), maka kami melakukan tindakan semacam ini. Karena ini seusai dengan hukum pasar dan hukum nasional kita," kata dia.

No way-out?

Kebijakan moratorium perizinan kapal eks asing dan larangan transhipment, sebelumnya dikeluhkan beberapa nelayan.

Wakil Ketua Forikan Indonesia Ady Surya menyayangkan berbagai kebijakan Susi Pudjiastuti, seperti Permen KP 56/2014 dan Permen KP 57/2014.

Selama bertahun-tahun, alih muatan tengah laut dilegalkan dengan berbagai peraturan di masa lalu. Tiba-tiba, dua minggu setelah dilantik Susi langsung mengeluarkan serentetan kebijakan yang menurutnya tidak melalui proses konsultasi publik.

"Way-out enggak ada. Itulah yang menjadi persoalan besar, karena ini menyangkut hidup orang banyak. Seorang pemimpin harusnya tidak seperti itu," ucap Ady saat berkunjung ke redaksi Kompas.com, Selasa (5/4/2016).

Hein Kojongian, nelayan asal Bitung yang juga anggota forum Gerakan Nasional Masyarakat Perikanan Indonesia (Gernasmapi) pun menunjukkan fakta lapangan.

Hein mengatakan, di Bitung saja ada 53 UPI dengan daya tampung 1.400 ton per hari. UPI yang ada di Bitung ini menyerap lebih dari 50 persen produksi nasional.

"Sebelum moratorium, dari kapasitas terpasang (1.400 ton), kapal pengangkut bisa mensuplai 57 persen, atau lebih dari 700 ton," kata Hein.

Dengan asumsi harga per kilogram Rp 14.000, kata dia, maka saban hari ada Rp 8 miliar uang yang masuk ke Bitung. Jika dihitung 24 hari kerja, maka dalam setahun nilainya mencapai Rp 2,3 - Rp 3 triliun dalam bentuk bahan baku.

Setelah diproses pengolahan, dan memiliki nilai tambah, maka hasil produksi pengolahan ikan mencapai Rp 8,7 - Rp 9 triliun per tahun.

"Ini semua hilang karena moratorium," kata Hein. Paska-moratorium, utilisasi UPI di Bitung di bawah 30 persen. Kekurangan bahan baku tidak hanya terjadi di Bitung.

Di Muara Baru utilisasi UPI yang tadinya menembus 85-90 persen, drop paska-moratorium menjadi hanya 15 persen.

"Perlu diketahui 1 anak buah kapal itu membuka 10 lapangan kerja industri pengolahan. Jadi kalau dia (Susi) bunuh 1 kapal, itu berapa orang yang mati di hilir sana?" kata Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja, kepada Kompas.com.

Kompas TV Nelayan Minta Menteri Susi Dicopot
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com