Dalam klarifikasinya bersama Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi Jumat (15/4/2016), Harry menjelaskan, ia mendirikan company papers di Hongkong pada 2010 saat menjabat Ketua Komisi XI DPR yang membidangi masalah keuangan dan perbankan.
Namun, perusahaan itu tidak pernah beroperasi sehingga tidak ada transaksi dan aset apapun. Harry pun sudah mundur dari perusahaan itu sejak 1 Desember 2015.
“Klarifikasinya, kalau memang ada kekurangan bayar, saya siap selaku wajib pajak yang patuh. Berapa pun yang dinyatakan oleh DJP, saya siap bayar,” kata mantan politisi Golkar itu.
(Baca : Ditjen Pajak Klarifikasi Harry Azhar Azis)
Seminggu berikutnya, kebanggaan saya yang sudah tinggal sisa-sisa akhirnya runtuh dan justru menjelma menjadi kesedihan.
Pembunuhan dua petugas Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Sibolga, Sumatera Utara oleh wajib pajak sangat membuat miris hati.
Dua petugas pajak itu, Parado Toga Fransiano Siahaan dan Sozanolo Lase tewas ditikam oleh pengusaha karet berinisial AL saat hendak menagih tunggakan pajak yang belum juga dibayar AL.
Jika hanya mengemplang pajak, mungkin masih wajar. Namun, jika sampai membunuh petugas pajak yang ingin menagih tunggakan pajak, jelas situasinya menjadi sangat berbahaya.
Pertistiwa tersebut membawa profesi pajak ke level risiko yang baru.
Meskipun bersifat kasuistis, kondisi ini sedikit banyak pasti memengaruhi mental dan psikologi para petugas pajak.
Apalagi Ditjen Pajak telah mencanangkan tahun ini sebagai tahun penegakan hukum.
Tahun penegakan hukum
Terlepas dari cerita-cerita “baper” (bawa perasaan) saya soal pajak tadi, selama pemerintahan Presiden Jokowi, persoalan pajak telah menjadi salah satu isu sentral dan krusial di negeri ini.
Itu terjadi karena rezim Jokowi, mengubah drastis wajah dan struktur APBN.
Belanja infrastruktur dinaikkan secara drastis dalam dua tahun terakhir, sehingga menciptakan beban baru di sektor penerimaan.
Penerimaan pajak diharapkan dapat memenuhi kebutuhan belanja infrastruktur.