Tahun 2015, yang merupakan tahun pertama pemerintahan Jokowi menyusun APBN secara penuh, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.489,3 triliun.
Namun, realisasinya jauh panggang dari api, penerimaan pajak pada tahun itu hanya mencapai Rp 1.235,8 triliun, atau meleset Rp 253,5 triliun.
Seiring jatuhnya harga migas dan komoditas tambang, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pun jatuh dari Rp 390,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 252,4 triliun.
Selain target yang ambisius, tak tercapainya target juga akibat kondisi ekonomi global yang terpuruk sehingga memengaruhi pula pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,79 persen, melambat dibandingan tahun sebelumnya yang sebesar 5,02 persen.
Namun, memang tidak mudah meningkatkan pajak secara konvensional, dengan mengharap kesadaran wajib pajak meningkat secara otomatis.
Dari 75 juta jiwa penduduk Indonesia yang semestinya bayar pajak, baru 20 juta jiwa yang memiliki nomor pajak wajib pajak.
Sudah begitu, hanya 9,92 juta jiwa yang menyampaikan laporan pajak dan tidak semuanya bayar pajak.
Selain itu, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga rendah, hanya berkisar 12 persen.
Ekonom senior Dradjad Wibowo mengatakan, jika mengacu pada negara-negara tetangga yang kondisi ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, negeri ini seharusnya bisa mencapai angka tax ratio atau penerimaan pajak terhadap PDB sebesar 20 persen.
Artinya, ada potensi penerimaan pajak yang tidak disetorkan kepada negara.
Karena sulitnya meningkatkan pajak secara konvensional, pemerintah mengambil langkah terobosan pada 2016.
Tahun 2016 dicanangkan sebagai tahun penegakan hukum di sektor pajak.
Artinya, pemerintah akan memaksa para pengemplang pajak untuk membayar pajak secara semestinya. Jika tidak, akan diambil tindakan hukum, termasuk pidana.