Semangat ekonomi gotong royong kita pelajari sejak di sekolah dasar. Di dana juga ada sharing, yaitu sharing tenaga.
Di Bali, kerjasama itu disebut Subak dan Ngayah, Mapalus (Manado), Gugur Gunung (Jogja), Sambatan (pesisir Jatim), Song Osong Lombhung (Bangkalan, Madura), Pawoda (NTT), Siadapari (Sumatera Utara) dan Paleo di Kaltim. Pokoknya dimana-mana ada.
Selain gotong royong, Indonesia juga punya perekonomiannya, yaitu ekonomi gotong royong. Bung Hatta pencetusnya.
Sebagai ekonom, Bung Hata yang berasal dari Sumatera Barat, sangat dekat dengan ekonomi gotong royong.
Di Desa Lasi, Kabupaten Agam, misalnya, jejak itu masih amat terlihat. Di sini saya diajak mantan Wali Nagari Lasi, Suardi Mahmud Bandaro Putiah menyaksikan gerakan ekonomi rakyat membangun kebun kopi warga desa.
Di atas ketinggian 1.400 menter di atas permukaan laut, Datuk Suardi menunjukkan pohon-pohon kopi yang di-sharing Rumah Perubahan empat tahun lalu.
Kami memberikan 20.000 bibit, dan kini pohon-pohon kopi kualitas premium mulai panen sedikit-sedikit.
Ia pun berpesan agar saya menceritakan kepada khalayak bahwa saya sudah sampai di lereng Marapi. “Agar mereka tahu Pak Rhenald sudah sampai di tempat nenek moyang orang Minang,” ujarnya sambal tersenyum.
Turun dari lereng, saya disambut puluhan warga adat. Mereka membangun balai pertemuan dengan bahan dari bambu, dan diberi nama “Istana Rakyat-Selaras Alam”. Ini bukan istana biasa, melainkan istana pelaku ekonomi Gotong Royong.
Jangan salah, mereka ini benar-benar petani. Tetapi di situ saya melihat Datuk Suardi menjalankan sendi-sendi ekonomi koperasi. Anggotanya dibuat pandai dengan diskusi rutin, dan merekapun punya impian bersama dari kegiatan ekonomi itu.
“Kami ingin naik haji bareng melalui kebun kopi ini,” ujarnya.
Melalui gerakan koperasi yang kita kenal, suara anggota didengar, dan manusia berkumpul dalam kegiatan ekonomi aktif yang hasilnya ditujukan demi kepentingan anggota: kesejahteraan.
Gotong Royong dan Aps
Di Rumah Perubahan, gagasan ekonomi Gotong Royong ditangkap oleh Alfatih Timur, yang pernah jadi mahasiswa saya di kelas Manajemen Perubahan di UI.
Timmy (begitu sapaan Alfatih) bercita-cita menjadi pemimpin. Tiga hari setelah bergabung di Rumah perubahan, Timmy saya ajak ke Pulau Buru dan saya tinggalkan beberapa hari di sana untuk bergabung dengan masyarakat adat desa.