Pulang dari Pulau Buru, gagasan sosialnya timbul. Ia membangun komunitas Kitabisa.com, sebuah situs berbagi sosial yang mempertemukan mereka yang mau menggerakkan perubahan (sosial) tapi tak punya uang dengan yang mau menyumbang.
Gagasannya muncul dari kesehariannya di masa kecil, di Bukit Tinggi – Sumatera Barat. Di Sumbar, seperti Bung Hatta, Timmy biasa melihat segala masalah sosial lewat gotong royong.
Upacara perkawinan, pindahan, sunatan, bangun masjid, pertanian, pendidikan, bangun pasar dan seterusnya. Semua dilakukan warga adat bergotongroyong.
Bedanya, kini Timmy tinggal di kota, Ia bergaul lintas budaya dengan teknologi pula yang mempertemukan kita semua. Real time! Ia pun menciptakan situs Kitabisa.com.
Tahukah Anda, Timmy dan Kitabisa.com bersama ribuan orang Indonesia tahun ini sudah mengumpulkan lebih dari Rp 11 miliar.
Dana tersebut disalurkan untuk membangun jembatan yang terputus akibat bencana alam sehingga anak-anak sekolah tak perlu bergelayutan di sisa-sisa jembatan yang rawan rubuh, rumah bagi kaum dhuafa, pengobatan bagi penderita kanker, bangun perpustakaan, masjid di Tolikara sampai bus donor darah dan hadiah umroh bagi penjaga kampus.
Semua ini kegiatan sosial ? Ya ! Terang benderang.
Apakah ini ada ekonominya ? Ya juga. Apakah dibenarkan ada kegiatan yang membagi keuntungan? Tentu saja tak dilarang sepanjang keuntungan didapat secara halal dan wajar.
Tapi baiklah, besok kita lanjutkan, sambil membahas business model, dan five in one dalam gerakan sharing economy.
Business model itulah yang sulit dipahami kaum tua. Apalagi, kalau harga jualnya rendah, bahkan digratiskan seperti mesin pencari Google atau media sosial Facebook.
Dari mana uangnya? Apakah itu predatory? Jangan sampai kita gagal paham di sini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.