Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Empat Gebrakan Pemerintahan Jokowi Mendorong Ekonomi dengan “Menggadaikan” Hukum

Kompas.com - 03/05/2016, 07:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Hampir seluruh dakwaan kasus pengadaan barang dan jasa yang diajukan ke pengadilan, dinyatakan terbukti oleh majelis hakim. Hanya satu-dua terdakwa yang dibebaskan.

Artinya, anggapan bahwa kerap terjadi kriminalisasi  oleh penegak hukum terhadap proses pengadaan barang dan jasa tidak sepenuhnya benar.

Sebab, dalam praktik hukum pidana di Indonesia, kesalahan dalam bentuk kelalaian, kurang hati-hati, atau kealpaan yang tergolong berat masuk kategori pidana.

Pemeriksaan di pengadilan juga menunjukkan, pejabat hampir selalu terlibat dalam korupsi pengadaan barang dan jasa meskipun tidak ada bukti yang bersangkutan mendapatkan keuntungan pribadi.

Ketiga, rencana revisi UU KPK

Pemerintahan Jokowi melalui Kementerian Hukum dan HAM beberapa waktu lalu getol ingin membahas revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, meskipun kemudian, atas desakan masyarakat, langkah ini ditunda.

Banyak pihak menilai revisi UU KPK akan dipakai sebagai pintu masuk untuk melemahkan KPK, yang selama ini menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi.

Sebab, dalam Rancangan Undang-Undang KPK yang sedianya akan dibahas, terdapat pasal yang mematok usia KPK hanya 12 tahun sejak RUU tersebut diundangkan.

Selain itu, kewenangan penyadapan KPK dihambat dan kewenangan penuntutan dihapuskan.

KPK juga diperbolehkan untuk menghentikan perkara yang berarti akan membuka ruang pengampunan koruptor.

Pendek kata, taring KPK yang selama ini tajam coba ditumpulkan. KPK ke depan dirancang tak lebih dari sekadar lembaga pencegahan korupsi.

Penyelenggara negara, sebagai salah satu objek yang diawasi KPK, wajar saja merasa gerah dengan aksi-aksi KPK yang tanpa kompromi dan tidak bisa dikontrol.

Sebab, selama kurun 2004-2015, KPK telah memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/wali kota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I, II, dan III.

Di satu sisi, aksi-aksi tangkap tangan dan “Jumat Keramat” KPK yang diliput besar-besarn oleh media, bisa saja dianggap hanya menimbulkan kegaduhan serta mengganggu stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang sedang berjalan.

Energi bangsa seolah tersedot untuk membicarakan OTT KPK yang biasanya mengarah pada tokoh-tokoh “high profile” di negeri ini.

Apalagi, aksi-aksi KPK tersebut tidak memberikan manfaat secara langsung dan seketika terhadap perekonomian.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com