Melalui business model itulah, para pelaku menggarap key-partners, menggarap keuntungan dari sisi lain, dan memilih waktu yang tepat.
Saya ambil saja contoh proyek kereta api cepat yang kontroversial itu. Jepang dan China saja punya business model yang berbeda.
Yang satu ingin membangun lintasan pada jalur kereta api lama sehingga butuh dana besar untuk pembebasan tanah. Income dari bisnis transportasi itu sendiri utamanya adalah tiket kereta api.
Sementara itu, yang satu lagi menggunakan konsep sharing resources dari BUMN (jalan tol milik Jasa Marga, terminal di area perkebunan Walini, konstruksi oleh WIKA, dan dengan PT Kereta Api Indonesia sebagai operator) dan mendapatkan keuntungan dari usaha di kawasan TOD, yakni rumah sakit, kampus, perumahan, perkantoran, sarana kerja, dan sebagainya. Sumber pendapatannya lebih beragam.
Kalau Anda belum puas, baca lagi kolom saya ini: Mereka yang Melakukan Perubahan dengan Cara Sederhana.
Di situ Anda akan membaca, betapa cerdasnya orang kampung dari Pulau Adonara ini membangun desanya.
Bahasa kerennya itu kita sebut business model. Anda juga bisa mereka-reka bagaimana model bisnis kickstarter.com atau kitabisa.com. Silakan dipelajari.
Predatory dan disruption
Ekonomi selalu mencari dua jalan: efisiensi dan kesejahteraan. Untuk itulah, Clayton Christensen sejak 20 tahun lalu mengingatkan proses disruption, yang bisa saja berakibat "kehancuran" atau "kemunduran" di antara para incumbent.
Incumbent, menurut teori disruption, akan fokus pada kelompok segmen pasar yang memberi banyak keuntungan kepadanya dan loyal. Mereka menerapkan sustaining innovation.
Anak-anak muda, wirausaha baru, yang ingin masuk ke dalam pasar, sebaliknya menerapkan disruptive innovation melalui business model.
Maka dari itu, biasanya, wirausaha-wirausaha baru "mencari pasar" dari bawah yang harganya murah. Mereka melayani kelompok yang belum menjadi pasar karena soal harga dan diabaikan incumbent.
Namun, perlahan-lahan, terjadi dua hal: wirausaha baru memperbaiki layanan dan teknologi, sedangkan segmen yang di atas tergoda pindah, apalagi kalau bagus dan jauh lebih murah. Di situlah terjadi proses disruptif. Bergejolak dan ribut.
Lantas, yang dikhawatirkan sebenarnya adalah kalau mereka menerapkan strategi temporal, predatory.
Selentingan ini juga beredar kuat di masyarakat karena terbetik kabar, Grab, Uber, dan Go-Jek setiap bulan masih harus mengeluarkan jutaan dollar. Mari kita buka teori dan praktiknya.
Menarik untuk disimak bahwa sejarah perubahan 25 tahun terakhir ini berpola sama.
Mungkin kalau hidup di sini, Google dan Facebook (keduanya juga rugi bertahun-tahun, tetapi kini menjadi yang terkaya di dunia) juga dituding sebagai pelaku predatory pricing. Mereka menerapkan zero price, freemium. Namun, lihatlah, itu bukan berlaku sementara, melainkan memang sudah menjadi business model-nya.
Sementara itu, Amazon, yang berbayar, juga sudah lebih dari lima tahun rugi di tengah-tengah popularitasnya. Juga bukan hal yang aneh, semua pendatang baru membutuhkan 2-5 tahun untuk mencapai titik impas.