Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Efektifkah Kebijakan OJK?

Kompas.com - 10/05/2016, 08:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

a. bagi bank BUKU 3 dan BUKU 4 adalah bank yang memiliki rasio BOPO lebih rendah dari 75 persen.

b. bagi bank BUKU 1 dan BUKU 2 adalah bank yang memiliki rasio BOPO lebih rendah dari 85 persen.

2. Batasan rasio NIM yang dapat memperoleh insentif adalah bank yang memiliki rasio NIM lebih rendah dari 4,5 persen, yang berlaku bagi semua BUKU.

3. Semakin rendah rasio BOPO dan/atau semakin rendah rasio NIM maka semakin besar insentif penurunan perhitungan alokasi modal inti untuk membuka jaringan kantor yang dapat diperoleh oleh bank tersebut.

Sebagai contoh, jika suatu bank BUKU 4 mampu mencapai BOPO di bawah 70 persen dan NIM berkisar 3,5 – 4 persen, maka bank tersebut mendapat insentif berupa pengurangan alokasi modal inti sebanyak 60 persen dari perhitungan normal.

Adapun jika suatu bank BUKU 4 memiliki BOPO di bawah 70 persen dan NIM di bawah 3 persen, maka alokasi modal intinya akan dikurangi 100 persen.

Artinya, untuk membuka kantor cabang berapa pun banyaknya, bank bersangkutan tidak harus menambah modal inti.

Melalui insentif ini diharapkan bank yang efisien dapat meningkatkan ekspansi penyaluran kredit karena dengan modal inti yang sama bank dapat memiliki jaringan kantor yang lebih banyak.

Bank yang efisien juga memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kredit sehingga pada akhirnya meningkatkan daya saing bank dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

“Masyarakat akan mendapat pembiayaan dengan suku bunga yang lebih rendah dan dengan akses yang lebih luas,” kata Muliaman saat mengumumkan kebijakan baru tersebut beberapa waktu lalu.

Kurang efektif

Di atas kertas, aturan tersebut tentu sangat bagus.

Namun persoalannya, apakah aturan tersebut efektif diterapkan di lapangan, dalam artian apakah perbankan akan berlomba-lomba menurunkan BOPO dan NIM-nya demi mendapatkan insentif.

Jika melihat kondisi perbankan saat ini, aturan tersebut mungkin kurang menarik bagi perbankan.

Pasalnya, penyaluran kredit perbankan saat ini tengah lesu seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data OJK, posisi kredit perbankan pada akhir Februari 2016 sebesar Rp 3.967,91 triliun, turun dibandingkan posisi  akhir 2015 yang sebesar Rp 4.057,9 triliun.

Menyusutnya penyaluran kredit tentu akan menurunkan pendapatan bank.

Artinya, meskipun bank bisa menekan biaya operasionalnya, angka BOPO tidak akan berpengaruh signifikan.

Buktinya, rata-rata BOPO perbankan per akhir 2016 mencapai 84,22 persen, meningkat dibandingkan akhir 2015 yang sebesar 81,49 persen.

Bahkan, rasio BOPO perbankan cenderung meningkat sejak tahun 2014.

Secara teori, penurunan rasio BOPO akan terjadi jika bank mampu meningkatkan pendapatannya dan di saat bersamaan mampu menekan biaya operasionalnya.

Hal yang dilakukan bank untuk menekan biaya operasional antara lain meningkatkan porsi dana murah (tabungan dan giro), mengoptimalkan peran teknologi informasi, jaringan nirkantor, e-banking, pemangkasan biaya umum dan administrasi serta pengurangan SDM.

Lagipula, bank-bank besar seperti BRI, Mandiri, BCA, BNI, dan CIMB Niaga saat ini sudah memiliki rasio BOPO di bawah 75 persen yang merupakan batas minimum bank bisa mendapatkan insentif.

Artinya, dari sisi BOPO, bank-bank tersebut sebenarnya sudah tergolong efisien.

Padahal, bank-bank besarlah yang diharapkan berlomba-lomba meningkatkan efisiensi.

Sebab, penurunan bunga kredit hanya akan terasa jika yang melakukannya adalah bank-bank besar yang berposisi sebagai market leader.

Bagaimana dengan NIM?

Sama saja. Perbankan kemungkinan akan berat hati menurunkan NIM-nya.

Sebab, menurunkan NIM sama saja dengan mempercil laba.

Pasalnya, 65 persen pendapatan bank berasal dari bunga. Artinya, bank masih sangat tergantung pada pendapatan bunga.

Apalagi, perolehan laba merupakan penilaian utama untuk mengukur keberhasilan manajemen.

Pemegang saham biasanya menginginkan laba bank tumbuh terus setiap tahunnya, bagaimanapun caranya.

Terbukti, agar laba tidak anjlok akibat penurunan laju kredit dan peningkatan kredit bermasalah (non performing loan/NPL), bank saat ini justru memperbesar NIM-nya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com