Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Mau Bangun Sepak Bola atau Kampus Kelas Dunia? Perbaiki Dulu "DNA"-nya...!

Kompas.com - 16/05/2016, 05:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Pengorganisasian berbasis DNA kelas dunia ini berbeda dalam banyak hal: sponsor, dana abadi, investasi, science, manajemen, sampai soal gizi, disiplin, hukum dan etika.

Ini tentu berbeda dengan dunia sepak bola kita yang belakangan juga gemar mendatangkan pemain-pemain sepak bola dari mancanegara. Tanpa pengorganisasian DNA kelas dunia, seorang pemain terkenal besoknya berubah menjadi pedagang nasi uduk.

Adalah biasa kita mendengar, atlet yang menghilang dari pelatnas, terlibat perkelahian di klub malam, dan seterusnya.

Seorang pengusaha yang pernah menjamu tim sepakbola Chelsea dan PSSI pernah bercerita, apa saja makanan yang "diembat" (dia memakai istilah itu) pemain kita bila dibandingkan dengan pemain-pemain Chelsea. Silakan tebak sendiri.

Kampus Kelas Dunia

Belakangan ini kita juga sering mendengar visi para rektor yang menyebutkan kampusnya sebagai "world class university". Kita juga sering mendengar berita tentang rangking universitas-universitas kelas dunia dan kita selalu bertanya, di mana kampus-kampus jagoan kita berada.

Singapura, China, Korea Selatan dan Jepang, berulang kali disebutkan dalam daftar peringkat kelas dunia itu. Sementara dari Indonesia, semakin hari semakin bergeser ke belakang. Ada juga yang kadang-kadang. Maksud saya, kadang masuk dalam top 200, kadang menghilang.

Padahal, upaya para pemimpin kampus dan akademisi kita tak kurang gigihnya. Gairah riset dan publikasi ilmiah begitu tinggi. Hampir setiap hari kita menerima email “call for papers” dari berbagai kolega perguruan tinggi di tanah air.

Lantas, dengan DNA seperti itu, sudah adakah yang mampu mendapatkan ranking?

Saya kira pesan-pesan yang dikirim lembaga-lembaga pemeringkat dunia sebenarnya sudah amat jelas. Universitas kelas dunia itu dibentuk dengan peorganisasian dan software kelas dunia, berisi pengajar dan mahasiswa yang terbaik lintas kebangsaan, diversity.

Saya jadi teringat dengan undangan makan malam dari berbagai kampus luar negri yang saya terima sebulan belakangan ini. Entah bagaimana, satu- persatu “Dean of Faculty” (dekan yang menangani dosen) dari kampus- kampus top dunia itu tiba-tiba ada di sini.

Singkat cerita sehabis makan malam, mereka menawarkan saya untuk pindah dan bergabung sebagai guru besar di kampus mereka.

Paket tawarannya amat jelas. Bahkan terbuka untuk negosiasi. Belakangan mereka buka kartu juga, semua itu didasarkan dari data yang diberikan sebuah lembaga, dan penghargaan keilmuan yang belum lama ini diumumkan.

Saya agak sedikit maklum, karena begitulah DNA kampus kelas dunia.

Anda tahukan, bagaimana kampus-kampus kita membentuk DNA-nya? Cobalah tengok siapa saja yang menjadi dosen dan mahasiswanya, serta bagaimana menyeleksinya?

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com